Leading Ilustration
Pagi itu, selepas sarapan, tiba-tiba tercetuk satu
soalan untuknya (untuk si bocah berusia 7 tahun yang dititipkan oleh uminya
tiap hari ahad di rumah).
Sebelum kami berdua keluar dari flat dan bermain
badminton, saya ajukan pertanyaan itu. Saya ingin menge-testnya.
"Abdul...." panggil saya lembut, mencoba
memancingnya.
"Ya...." jawabnya singkat. Kemudian saya
menghampirinya lebih dekat sambil mengenakan tudung.
"Abdul lebih suka tengok Kakak Nisa' pakai tudung
atau inda' pakai tudung?" tanya saya dengan gaya serius.
Untuk beberapa saat dia duduk terdiam sambil menatap
saya. Agak jengkel juga dengan pandangannya itu, saya benar-benar ingin tertawa
(gayanya seolah-olah seperti pria dewasa), tapi saya tahan kuat-kuat.
"Kok diam sich? Apa jawabannya? Iya atau
tidak?Kalau tidak jawab, nggak jadi main dech!" paksa saya tak sabar.
"Pakai tudung!" jawabnya cepat.
"Oh, iyakah? Very good answer!" puji
saya untuk jawaban bijaknya. Senyum saya mengembang. Merahlah wajah saya, malu.
"Tapi...... bla bla bla(red.)"
jelasnya lebih panjang.
"Haha...." ketawa saya akhirnya terkeluar.
----------------------------------------------------------------------------------
Berbagi itu indah, hanya untuk kebaikan dan kebenaran.
Sempena mengawali Ramadhan 1434H/2013M, bulan suci
yang penuh berkah, inilah salah satu cerita penuh hikmah, yang terjadinya
(bukan kebetulan) hanya pada bulan-bulan Ramadhan antara tahun Masehi 2006-2013.
Tulisan ini dengan tulus sepenuh hati saya
persembahkan untuk para wanita dan lelaki siapa pun Anda, khasnya muslim dan
muslimah, di mana pun berada.
Semoga pengalaman saya berikut ini bisa lebih
mendewasakan saya khususnya dan pelajaran bagi sesama muslim dan muslimah lain
pada umumnya. Wallahualam.
Jika Anda temukan kesalahan dan kehilafan dalam
tulisan ini, itu murni datangnya dari saya. Sebaliknya, apabila Anda dapatkan
kebenaran dan kebaikan dari tulisan ini, itu datangnya hanya dari Allah SWT.
=========================================================
Introduction
Pada suatu hari, salah satu murid perempuan saya
menegur temannya yang rambutnya ternampak keluar dari kain kerudungnya.
Kemudian dia melaporkannya pada saya padahal saya sudah memperhatikan mereka
berdua dari sejak awal. Saya tak berkomentar apa pun. Saya biarkan saja. Mereka
berdua sudah paham dan berani menegur atau dengan kata lain menasehati satu
sama lain demi suatu kebaikan dan kebenaran.
Teguran itu bukan hanya terjadi pada sesama murid
perempuan, melainkan juga pada murid lelaki pada murid perempuan.
Kejadian-kejadian (yang mungkin bagi orang lain) kecil semacam itu sangat
menarik perhatian saya.
Jika saya ingin melakukannya, saya sungguh akan
menangis. Teringat kembali masa lalu.
Betapa beruntungnya mereka. Walau mereka belum baligh,
kepahaman mereka tentang ajaran Islam begitu kuat. Tak bisa dipungkiri,memang
perkembangan teknologi dan perubahan 'zaman' berproses begitu cepat sehingga
dampak yang kebanyakan negatif itu mudah sekali mempengaruhi anak-anak. Apa
yang mereka miliki saat ini tidak sama dengan apa yang saya punyai di masa
lalu.
Akan tetapi ada satu, dan satu-satunya, yang membuat
kami di masa lalu, masa sekarang dan juga masa depan, sama, tanpa perbedaan!
Dialah agama kami, Islam. Islam hanya satu dan karena itu dia lah yang hanya
mampu mempersatukan kami kembali.
Ketika anak-anak lain sibuk menyanyikan lagu-lagu pop
orang dewasa, mereka yang ada di depan dan di samping saya, dengan penuh riang
gembira menghapalkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan nada dan lagu yang sangat
menyenangkan. Saya pandang mereka lebih
dekat. Sepertinya mereka jadi malu. Namun, anehnya mereka malah menyaringkan
suaranya. Anak-anak itu menjadi sangat percaya diri karena ada orang yang mendukungnya.
Dukungan yang membaikkan, oleh kita, orang dewasa.
(Renungan: “Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan
menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi")
Secara teori dan praktek, kenyataan membuktikan bahwa
peran orang tua (dan orang-orang dewasa di sekitar lingkungan anak-anak) adalah
sumber pertama pendidikan mereka, yang menjadikan mereka generasi yang berilmu
dan berbudi pekerti luhur. Karenanya, tak jarang kita mendengar jika anak itu
cemerlang di sekolah, orang-orang akan berkata, "Anaknya siapakah
dia?" dan kemudian kebanyakan mereka berburu tips-tips orang tua sukses
dari yang bersangkutan.
Atau, kejadian yang sebaliknya. Anak itu menjadi anak
pembuat masalah di sekolah. Tanggapan orang-orang pun menjadi sangat berbeda
dari yang sebelumnya. Dan ujung-ujungnya pasti yang kena orang tua. Meskipun
orang tua anak tersebut orang yang baik, orang-orang yang tidak bertanggung
jawab atas ucapannya, tanpa berpikir panjang, mengomentari seenaknya,
"Orang tuanya baik tapi tak bisa mendidik." Astaghfirullah dan lain sebagainya.
Saya, sebagai anak, sering merenungi hal itu. Sebab
apa? Bagaimana tidak menjadi pikiran jika kejadian itu tak jarang saya dengar?
Saya pernah menjadi anak kecil dan jika saya mampu bercakap seperti orang
dewasa, saya pasti tidak akan menerima ucapan itu.
Karenanya, ijinkanlah saya menulis. Saya tak mampu
memutar kembali waktu untuk mengubah apa-apa yang sudah terjadi. Yang penting
sekarang adalah apa yang kita perbuat untuk hari ini yang baik dan esok yang
lebih baik lagi. In Shaa Allah.
(Renungan: ''Barangsiapa
yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung.)
=========================================================
Opening
Pada pokok pembahasan tulisan kali ini, saya akan
hanya menyinggung persoalan pada paragraf (pertama) pembukaan yang telah
disebutkan di atas, yakni tentang kerudung/tudung. Pengetahuan hal ihwal
penerapan kewajiban bertudung ini tidak lah semata-mata ditujukan bagi kaum
hawa, lelaki pun mesti tahu dan juga wajib mengaplikasikannya, tentu saja
dengan cara tidak memakainya, melainkan ikut pula mendakwahkannya, menyuarakan,
memerintah dan mendukung pemakaiannya.
Saya memang tidak ada background tarbiyah agama
Islam secara formal. Bahkan sejak SD sampai kuliah, saya belajar di sekolah
umum, public school. Pengajaran dan pembelajaran agama di sekolah umum
masa itu sangat, sangatlah sedikit. Seminggu hanya ada satu kali pertemuan dan
itu hanya sekitar 1 jam-an, bahkan bisa kurang tergantung lambat tidaknya serta
hadir/tidaknya guru yang mengajar. Bukankah itu memprihatinkan! Tidak
mengherankan jika Indonesia sebagai Negara dengan penduduknya mayoritas
beragama Islam mampu menempatkan dirinya menjadi nomor 1 di dunia dalam hal
kuantitas, SAJA, bukan kualitas! Kenyataan ini merupakan kelebihan sekaligus
kelemahan bagi kita. Tidak percaya? Sila renungi, buat analisa dan
penjabarannya. Maka akan muncul sebuah kesimpulan yang tidak bisa dianggap enteng
bahwa kelebihan dan kelemahan itu memiliki dampak yang sangat besar, luar biasa.
Karena alasan tersebut, dengan penuh kerendahan diri,
saya akui saya tak memiliki apa pun untuk menyatakan kelayakan tulisan ini.
Dangkalnya pengetahuan saya tentang agama Islam membuat saya tidak percaya diri
menulis tentang hal ehwal mengenainya. Saya masihlah orang awam yang perlukan
banyak belajar dan belajar.
Namun, saya memiliki keyakinan bahwa pengalaman
seseorang tentang sesuatu perkara dari awal hingga akhir penyelesaiannya adalah
pelajaran berharga, terutama bagi mereka yang akan atau sedang menghadapi
perkara yang sama.
Tidak ada rasa sok tahu dalam tulisan ini sebab
saya sendiri masih kurang tahu banyak. Pengalaman yang akan saya bagikan ini
adalah kejadian yang saya alami sendiri dan segala subjektivitas yang terdapat
di dalamnya tentunya berasal dari diri pribadi saya. Pembaca dan orang lain
boleh tidak menyetujuinya dengan alasan masing-masing. Mungkin ada di antara
orang yang langsung tidak menyukai tulisan ini atau meraguinya.
Akan tetapi, sejatinya kebenaran itu mutlak, lurus, mustaqim,
tidak ke kiri atau ke kanan*. Dan semoga tulisan ini turut memperjuangkan
kebenaran itu sendiri. Dan satu hal lagi, saya tuliskan pengalaman pribadi ini
karena saya cinta dan sebab itulah saya peduli. Dengan keterbatasan ketika ini,
amanah* yang diberikan kepada saya sebagai hamba Allah, hanya mampu saya
tuliskan. Setidak-tidaknya saya tidak menyimpannya sendiri dalam hati sebab itu
hanyalah wujud selemah-lemahnya iman.
(Renungan: Rasulullah sholallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat
suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu,
maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu
adalah selemah-lemahnya iman.”(HR. Muslim) )
=========================================================
Saya tidak akan mengupas tentang dasar-dasar hukum
yang mendetail tentang kewajiban memakai kerudung. Banyak orang-orang yang
lebih berilmu dan faham daripada saya terkait hal tersebut. Selain itu,
buku-buku yang menjabarkannya pun mudah ditemukan di toko-toko buku. Yang
pasti, jelas dan mutlak, menutup aurat wajib ke atas lelaki dan perempuan. Dan
salah satu yang diwajibkan ke atas perempuan ialah memakai kerudung. Kalau yang
namanya wajib berarti harus dilakukan, jika tidak itu berarti melanggar. Karena
ini berkaitan dengan agama, maka barangsiapa tidak menjalankannya berarti dia
telah melanggar hukum yang dibuat Allah. Betul tidak? Jika hukum itu dilanggar,
sangsi/hukuman akan menjadi konsekuensi. Itu pasti!
=========================================================
Content #1
Jika kita mau memahaminya betul-betul, menutup aurat
sebenarnya tidak sekedar perintah/kewajiban, kita sendiri lah yang membutuhkan
untuk melaksanakannya.
Wahai saudariku, adakah dikau masih merasa bimbang
dengan kerudungmu? Adakah dikau rasa sukar berkomitmen dengannya? Mengapa? Apa
yang menghalangimu? Ceritakan. Terbukalah pasti ada jalan. Jika dikau masih
ragu dan malu menceritakannya, baiklah saya lah yang akan memulakannya.
Dengarkan (bacalah).
Sesungguhnya hidayah memang hanya Allah Yang Berkuasa
memberi. Dan bersyukurlah bagi kita yang beruntung mendapatkannya. Iman adalah
nikmat yang paling besar di antara nikmat dan hal-hal yang menyenangkan
lainnya. Mungkin orang lain tak sanggup memahami betapa bahagianya kita dengan
iman kita. Bagaimana pengaruh iman terhadap hubungan kita dengan-Nya, sesama
manusia dan lingkungan sekitar, itu yang mesti kita tunjukkan, buktikan dari
eksistensi iman itu. Dengan begitu, iman membuat hidup kita jadi bermanfaat
bagi sesama dan alam semesta. Kita bahagia dan semuanya pun ikut bahagia.
=========================================================
Content #2
Sejak kanak-kanak saya sudahlah mengenali kerudung.
Tetangga kami yang tinggal dekat rumah adalah seorang guru mengaji. Setiap sore
saya selalu mengaji di rumahnya. Dengan kostum lengkap menutup aurat dan kepala
dibalut kerudung kedodoran, saya berangkat mengaji dengan hati riang gembira.
Tapi masa untuk mengaji lebih sedikit dibandingkan masa untuk bermain dan
bercakap-cakap dengan kawan. Ya, maklumlah saya agak nakal sikit waktu itu.
Dari sana, saya (si gadis kecil) memahami bahwa
memakai pakaian menutup aurat dan kerudung hanyalah ketika membaca Al-Qur'an
dan shalat saja. Di luar itu, bebas. Pemahaman ngawur seperti ini
berlangsung hingga akhirnya saya menginjak remaja, anak SMA.
Keluarga besar kami hanyalah orang biasa, orang awam.
Tidak ada di antara mereka yang mendalami ilmu agama secara khusus, alim ulama
ataupun ustadz. Karena itulah, pendidikan agama saya sangat, sangat kurang. Ibu
saya malah seorang lulusan sekolah Kristen sedangkan bapak sudah masuk alam
ketenteraan sejak muda lagi.
Dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat
tempat tinggal kami, orang-orang dewasa (yang sepatutnya wajib tahu
perkara-perkara tentang agama) kurang mendidik anak-anaknya tentang agama,
secara kaffah, totalitas. Tarbiyah hanya terbatas pada Rukun Iman dan Rukun
Islam. Itu pun disampaikan sekedarnya saja.
Alhamdulillah. Setidak-tidaknya
ada, meski satu sahaja. Seorang (almarhum) menantu, laki-laki, dari pihak
keluarga ibu, paling alim soal agama (menurut pandangan saya). Beliau hanyalah
seorang petani, punya sawah dan mengolahnya sendiri dengan mengupah beberapa
orang untuk bekerja untuknya. Beliau sangat aktif dalam kegiatan pondok
pesantren yang lokasinya hanya di depan rumahnya. Pondok pesantren itu milik
saudaranya.
Betapapun alimnya beliau dan betapa pun kerasnya
beliau terhadap penerapan syariat Islam, pangkatnya sebagai paman
tak sampai mempengaruhi saya secara signifikan. Hanya saja, saya agak-agak
takut kalau berhadapan dengan beliau (beliau orang yang paling saya takuti dan
sekaligus saya hormati). Saya biasanya pergi ke rumahnya memakai celana panjang
atau pendek. Tatapan matanya seolah-olah memberitahu kalau saya ini sangat
dibencinya (mengganggu).
Dan sekarang, saya sudah menerima ikhlas dan paham
dengan ekspresi tak sukanya itu. Mungkin beliau tak ingin anaknya terpengaruhi
oleh saya yang pendidikan agamanya kurang dan beliau tak ada kuasa apa pun
untuk 'mengubah' saya.
Anak perempuannya, sepupu saya, sangat berbeda dengan
saya. Beliau tidak mau menyekolahkannya di SD, melainkan sekolah Islam. Karena
itu sejak kecil, dia sudah terbiasa dengan kerudung yang membalut kemas
kepalanya. Cara berpakaiannya pun tak sama dengan saya. Dia hampir tak pernah
memakai celana. Paman selalu memintanya menjahitkan baju sendiri sehingga
dibuatlah semua bajunya besar, longgar dan bukan celana panjang. Dulu, saya
sempat iri dengannya. Dia selalu cantik dengan penampilannya dan banyak orang
yang menyukainya.
Kembali lagi kepada diri saya. . . .
Masa Remaja
Waktu itu, ibu dan bapak sangat sibuk dengan acara
khitanan adik di rumah. Jadi mereka tak sempat menguruskan pendaftaran saya
masuk SMA. Berangkatlah saya seorang diri. Sesampai di rumah, saya sampaikan
segala formulir dan keterangan-keterangan berkenanan dengan siswa baru. Saya
pun tidak tahu siapa yang mempengaruhi saya. Tiba-tiba, saya meminta ijin
kepada ibu agar menyetujui niat saya memakai kerudung.
Sama sekali tak diduga! Unpredictable! Ibu dan
bapak sama-sama terdiam. Bapak sama sekali tidak berkomentar apa pun. Mungkin
beliau terlalu sibuk dengan urusan adik bungsu saya, anak laki-laki
tersayangnya, paling manja. Sehingga, hanya ibu seorang yang bersuara, memberi
pendapat. Dari ekspresi wajah dan kata-kata lugasnya, ibu tak setuju. Saya ini,
katanya, lebih elok kalau tak pakai kerudung dan bla.... bla.... bla....(tak
perlu saya sebutkan). Saya tak terpancing dengan hujjah ibu. Pendirian saya
tetap, tak tergoyahkan, meski saya tak melandaskan niat suci itu atas dasar
syariat Islam atau nasihat seorang alim ulama. Keinginan itu muncul tiba-tiba setelah
semalaman menangis patah hati sebab saya tidak dibenarkan sekolah di SMA yang
saya sukai.
Karena saya sendiri yang mengurus segala sesuatunya,
saya seakan memiliki kebebasan dengan apa pun keputusan. Saya tak peduli meski
ibu sudah melarang. Saya meminta sejumlah uang untuk membayar seragam lengkap
untuk siswa berkerudung. Ibu memperingatkan agar saya berpikir masak-masak
alias mengubah pikiran. Saya tidak tertarik. Sukar saya mengkhianati tekad yang
sudah bulat.
Beberapa hari setelah Masa Orientasi Siswa (MOS) bermula, tukang jahit datang ke sekolah,
mengambil catatan ukuran baju siswa-siswi baru. Saat ditanya (padahal sudah
jelas di kwitansi, masih tanya lagi - aneh!) apakah saya mau pakai baju seragam
biasa atau seragam muslimah, saya teringat nasihat ibu. Tanpa ragu, saya jawab,
"Saya ingin pakai seragam muslimah." Titik tanpa koma!
Ibu tak bisa menghalangi. Saya terlalu keras kepala.
Hari demi hari saya lalui bersama balutan kain panjang menutup badan dan kain
segiempat merangkai indah di atas kepala. Muncul sebuah energi baru yang luar
biasa dalam jiwa raga saya. Dengan penampilan yang baru itu, saya rasakan
kepercayaan diri dan keberanian saya tumbuh berlipat-lipat, meledek-ledak.
Dampak yang diberikannya tak tanggung-tanggung. Saya menjadi seorang siswa yang
terlampau aktif malah. Semua bidang akademik dan non-akademik saya akrabi
dengan mudah.
Namun, seperti saya ceritakan sebelumnya, saya tak
memiliki alasan khusus mengapa saya berkerudung. Sungguh kesalahan yang teramat
besar! Kebanyakan saya hanya memakai kerudung di sekolah atau di mana-mana yang
berurusan dengan kegiatan sekolah saja. Sedangkan di luar itu, saya merasa
tidak malu jika tak memakai kerudung. Astaghfirullah. Semoga Allah
menerima taubat hamba.
Inilah momen yang masih jelas dalam ingatan saya.
Siang itu saya pergi ke rumah nenek, memakai kerudung. Sesampai di sana, banyak
saudara-saudara yang terperanjat dengan penampilan baru saya. Sebagian besar
dari mereka tidak suka melihat saya dengan kerudung, dikatanya saya sok alim sebab mereka semua tidak
memakai kerudung. Dengan terang-terangan, mereka menyuruh saya melepasnya. Saya
jadi tidak enak menjadi berbeda di antara mereka. Tanpa susah hati, saya
lepaskan kain kerudung itu. Saya melakukannya hanya ingin menyenangkan hati mereka
dan ibu saya pun lega melihat saya melepasnya. Saya masih sangat jahil,
bodoh!
Ringkas cerita, ya kurang lebih seperti itulah
kehidupan saya dengan kain yang bernama kerudung. Bagaikan telur di atas
mangkuk besar. Saya masih mudah digoyang-goyangkan, dari kanan ke kiri dan dari
kiri ke kanan. Saya belum menemukan jati diri saya yang sebenarnya HANYA karena
saya tak memiliki prinsip dan pendirian yang jelas dan mutlak tak terbantahkan.
Sebelum saya meninggalkan bangku SMA, Allah menutupnya
dengan kenangan manis yang tak terlupakan di bulan Ramdhan. Sekolah kami
kedatangan seorang tamu spesial (bagi saya entah bagi yang lain), seorang
ustadz! Hati saya melonjak-lonjak riang gembira. Hari itulah pertama kali saya
mendengar dan berjumpa dengan seorang ustadz. Beliau adalah kawan baik guru
Kimia kami di sekolah. Saya dulu menganggap guru agama dan ustadz itu berbeda.
Sebab itulah, saya menganggap seorang ustadz itu sangat spesial (tapi tidak
semua ustadz saya anggap spesial).
Kalau tidak salah, nama beliau - Ustadz Fajar. Beliau
adalah seorang dokter muda sekaligus da'i, penyampai dakwah. Ditemani
isterinya, beliau datang ke sekolah kami mengisi kelas kajian Islam. Bukan main
asyiknya! Beliau pandai mengambil hati kami, terutama saya, sangat menyenangkan
dan akrab meski masih perjumpaan pertama. Sayalah orang PERTAMA yang mengajukan
pertanyaan pada beliau! Dan jawabannya MashaAllah, memuaskan dan
menyejukkan jiwa.
Mungkin saya sudah kehausan ilmu agama stadium berat.
Dakwah beliau tak langsung sama dengan buku teks yang guru Agama kami ajar di
dalam kelas biasa. Diksi-diksi baru seperti Yahudi, Israel, Palestina,
Misionaris, Kristenisasi dan lain sebagainya untuk pertama kali dalam hidup,
saya dengar dari mulut beliau. Minda saya terbuka sedikit demi sedikit. Ada
sebuah pertanyaan besar dalam benak saya. Mengapa saya baru tahu ini sekarang.
Dan pertanyaan-pertanyaan rasa ingin tahu lainnya.
Saya melirik ke arah isterinya. "SubhanaAllah!
Apakah beliau juga ustadzah? Kerudungnya besar sekali?" tanya saya dalam
hati. Beliau muslimah yang sederhana, tidak mencolok dalam penampilan luaran.
Jubah berwarna biru gelap dan kerudung coklat panjang lebar menghiasi auranya
yang sedap dipandang mata. Saya terpesona olehnya pada pandangan pertama. Belum
pernah saya menjumpai muslimah seperti beliau. Beliau begitu berbeda, special.
Saya simpan rasa takjub dan kekaguman itu dalam hati. Muncul hasrat ingin
menjadi sepertinya.
Semenjak saat itu, saya tertarik membaca buku dan
majalah Islam, khususnya majalah Annida (sungguh aneh, benar-benar tidak
masuk akal! perintah menutup aurat dan berkewajiban berkerudung tak pernah
muncul di buku teks sekolah, dari SD - SMA) dan mengikuti majlis-majlis
keilmuan Islam. Saya aktif mencari tahu dan mendekati anggota-anggota OSIS
serta menawarkan dan melayakkan diri agar didelegasikan dalam kegiatan-kegiatan
agama di luar sekolah, hehe dan saya berhasil!
Ke-PD-an (over confident) memang tidak bagus
(saya tahu itu dan menyadari tabiat saya kala itu), tapi dalam kebaikan dan
mencari kebenaran, hukum tak tertulis itu tak berlaku. Saya sudah berusaha
meminta ibu bapak agar memondokkan saya setiap bulan Ramadhan, tapi beliau
tidak mengesahkan dan mendukungnya. Apa boleh buat, saya mencari ide-ide lain
selain belajar di Pondok. Tiada ranting akar pun jadi.
Pada suatu acara akbar di Departemen Agama, saya
berjumpa Ustadz Fajar dan isterinya untuk kedua kalinya. Bahagianya tak
terhingga, rasanya seperti bertemu artis Meteor Garden, hehe. Di tempat
itu, mata saya terbuka dengan lebar, selebar-lebarnya. Lelaki seperti dokter
Fajar dan wanita seperti isterinya itu tidak cuma mereka saja. Saya melihat
keindahan dan mencicip kebahagiaan berada di tengah-tengah mereka.
=========================================================
Content #3
Masa belajar di SMA berakhir. Banyak yang ingin
bekerja. Ada juga yang mengambil program studi tertentu karena mereka ingin
cepat dapat kerja. Dan juga ada yang ingin belajar tapi masih tidak terlalu
memikirkan tentang pekerjaan. Yang terakhir itulah saya.
Setelah permohonan saya menjadi perwira tertolak
mentah-mentah oleh bapak (Saya bersyukur bapak tidak setuju sebab perwira
wanita sememangnya tidak boleh memakai kerudung. Ironis, bukan!), saya
mengambil cadangan lain, yakni saya tak mau bekerja, saya mesti belajar dulu.
Takdir akhirnya membawa saya ke kampus hijau,
Universitas Negeri Malang. Awal-awal datang rasanya jalan-jalan di kampus tak
ada ujung. Tersesat kemana-mana. Beruntungnya saya berjumpa seorang muslimah di
masjid selepas shalat zohor. Sosoknya bersahaja tapi cekatan. Walau beliau
memakai jubah yang kelonggaran dan
kerudung besar menjuntai hingga ke bawah punggung, saya yang malah pake celana
panjang kalah cepatnya dengan beliau. Panggilannya Kak Fitri, asal Palu. Dengan
lembut dan ikhlas, beliau merelakan waktunya menjadi campus-tour guide
hari itu.
Banyak orang mengatakan bahwa awal-awal tahun
kehidupan kampus adalah suatu tahapan yang penuh gejolak bagi seorang pelajar
(mahasiswa/i) baru. Pada masa itu pelajar akan dihadapkan pada realitas
kehidupan yang lebih rumit dan serba membingungkan. Dosen saya pernah menantang
dengan sebuah pernyataan yang kurang lebih seperti ini, "Coba lihat
beberapa tahun setelah kalian belajar di kampus ini. Apakah kalian akan tetap
setia dengan ilmu yang kalian pelajari ataukah kalian beralih pada bidang lain?
Jadi apa pun kalian nanti, gunakan waktu sebaik-baiknya untuk menuntut ilmu,
karena kalian mampu dan beruntung memiliki kesempatan." Dosen saya itu
mengingatkan saya pada ungkapan agung, "Tidaklah sama orang yang
berilmu dengan yang tidak."
Tidak salah lagi. Saya memang sedang berada dalam
tahapan itu, pencarian jati diri. Sebenarnya siapakah diri saya yang
sebenarnya. Saya benar-benar bingung, ke arah mana harus melangkah. Berdiri
saya di tengah sebuah padang dengan segala macam pilihan jalan keluar.
Kebimbangan itu memuncak pada suatu kejadian yang memilukan pada bulan Ramadhan
pertama di kampus. Apa yang saya perbuat kala itu di luar jangkaan saya. Unbelieveable!
Setelah kejadian itu berlalu, saya tersadar dan sering
menatap ke atas langit, mencari jawaban. Kemudian saya dipertemukan kembali
dengan Kak Fitri. Senyumannya sungguh mendamaikan dan menyenangkan. Bersamanya,
saya banyak menimba ilmu, bukan ilmu tentang literatur Bahasa Inggris, semua
langsung tak ada hubungannya dengan buku teks yang sedang saya tekuni,
melainkan ilmu agama, padahal di kampus saat itu tak ada jurusan Agama Islam,
adanya jurusan Bahasa Arab.
Saya sememangnya orang yang suka dengan hal baru* dan
selalu ingin tahu. Sifat itu membuat saya mudah bergaul dan cukup percaya diri.
Pada suatu acara kemuslimahan yang diadakan oleh mahasiswa muslim jurusan
(masih pada bulan yang sama, Ramadhan), sebagai maba (mahasiswa baru) saya
terlampau aktif sehingga saya beruntung mendapat hadiah, hehe Dan salah satu
hadiah itu adalah sehelai kerudung labuh (besar) berwarna cokelat muda. Kalau
dipikir-pikir sekarang, kerudung itu tak lah begitu besar, tapi bagi saya masa
itu, kerudung itu sangatlah besar, hampir menutup semua bagian depan dan belakang
serta tebal tidak menerawang. Saya tatap kerudung itu lama sekali. Apa cocok
dengan saya? Kayaknya tidak match dengan style baju yang saya pakai.
Pada hari yang sama juga, Kak Fitri memberitahu saya
bahwa beliau akan menjadi Kakak Mentor usrah kami (saya dan beberapa kawan
lainnya). Saya awalnya tak paham apa itu usrah. Kak Fitri mengemas usrah
(perkumpulan yang melibatkan kegiatan agama-perbincangan tentang sesuatu tajuk
agama) seperti hanya berbincang-bincang biasa. Sedikit demi sedikit, lama kelamaan, saya mulai mengerti ke arah mana beliau
membawa kami, pemahaman agama bagi seorang perempuan Islam - muslimah. Dari
beliau lah, saya baru belajar dan memahami kewajiban berhijab, menutup aurat,
yang sesungguhnya.
Renungan (sila pahami buku tafsirnya lebih dalam):
"Katakanlah
kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara
kemaluannya dan menutup kain kerudung ke dadanya. Janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka tau ayah mereka, atau ayah suami
mereka atau anak-anak mereka.”
(QS. An-Nur : ayat 31)
(QS. An-Nur : ayat 31)
“Hai
Nabi katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu serta
istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh. Yang demikian itu supaya mereka lebih di kenal, karena itu mereka tidak
di ganggu”
(QS Al-Ahzab ayat 59)
(QS Al-Ahzab ayat 59)
Saya tak hanya mengikuti usrah dengan Kak Fitri, saya
pun sering ikut halaqah yang diadakan oleh Kemuslimahan di prodi dan jurusan,
bahkan di kampus tetangga, Brawijaya. Tak sampai beberapa bulan kemudian, tahu
dan pahamlah sudah saya tentang salah satu dari macam-macam kewajiban seorang
muslimah, yakni menutup aurat termasuk di dalamnya memakai kerudung yang
setentunya harus syiar'i.
Bila kau mendekati seorang penjual minyak wangi, meski
kau tak membeli minyak wangi itu, kau akan ikut menyebarkan bau wangi sebab kau
tak sadar bahwa minyak telah menempel pada kulit dan kain bajumu. Ya, mungkin ilustrasi itu sangat tepat untuk
saya. Bersama-sama muslimah lainnya, saya menemukan hampir separuh jati diri
saya. Saya bahagia.
Kami saling mengingatkan satu sama lain, tapi
sebenarnya saya yang lebih sering diingatkan, lagi dan lagi, berulang kali.
Maklumlah, saya ikut beberapa organisasi kampus pada waktu yang sama, jadi
berbagai aliran pengaruh datang bersamaan. Saya berproses agak lambat dari pada
kawan-kawan satu angkatan. Dua sahabat saya yang satu usrah sudah naik pangkat
jadi Kakak Mentor, sedangkan saya masih tertatih-tatih, merangkak.
=========================================================
Content #4
Alangkah mudahnya menjalankan ibadah bersama-sama
orang yang paham, mengerti dan mendukung kita. Tak ada hambatan! Everything
goes very well. Malahan semuanya menjadi semakin mudah. Ukhuwah di antara
kami terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata. Di mana pun dan kapan
pun berjumpa dan berpisah, kata salam tak pernah dilupakan. Budaya saling
menegur pun tak pernah tidak. Mereka bukanlah kakak-kakak kandung saya, namun
saya tak bisa mengingkari bahwa posisi mereka melebihi dari saudara-saudara
kandung saya. Cinta, itu lah perasaan saya untuk mereka. Saya sungguh bahagia.
Kak Fitri sudah memberi nasihat sejak awal bahwa
perjuangan dakwah (dakwah tak semestinya melakukan ceramah, tidak!) di luar
usrah dan halaqah, tidak lah mudah. Beliau berulang kali mengingatkan agar saya
kuat dan bersabar. Saya belum sepenuhnya memahami nasihat berharga itu karena
saya belum mengalaminya langsung, seperti apa perjuangan yang dimaksudkan.
=========================================================
Content #5
Perjuangan pertama bermula di lingkungan organisasi
yang bukan Islam. Cara berpakaian dan kerudung yang saya pakai jelas-jelas
membuat saya nampak berbeda dari sebelumnya. Kawan-kawan saya dengan terkejutnya
berkata, "Uh, jadi ukhti-ukhti ya sekarang? Wah bla bla
bla...." Saya hanya tersenyum. Hanya saja kawan laki-laki ada yang paham
dan ada yang tidak. Apabila ada kegiatan akbar di organisasi, transportasi kami
biasanya motor. Saya menjadi malu kalau dibonceng kawan bukan perempuan. Dan
saya menghindarinya. Ada kawan yang memang tak paham langsung, selalu memaksa.
Untungnya, saya ini lumayan ahli naik motor. Itu sangat menguntungkan saya pada
case-case seperti itu. Inikah yang dimaksud Kak Fitri dengan perjuangan dakwah
itu. Boleh jadi, iya tapi saya lulus ujian dengan mudah. Alhamdulilah.
Tantangn di kos tak jauh beda dengan keadaan tersebut
di atas. Saya bisa melaluinya dengan sangat mudah. Sekali lagi, alhamdulillah.
Keadaan menjadi sangat berbeda jika masa pulang
kampung atau biasa kami sebut 'mudik' tiba. Suasana di rumah, di desa masih
tidak berubah. Ya seperti itulah. Bagi saya, yang sejak kecil hidup di sana dan
kemudian merantau ke Kota Malang dan lalu kembali lagi ke desa, sangat mudah
mengenali perbedaan yang nampak di mata, terutamanya.
Kurang dari setahun hidup mandiri di alam kampus, saya
sudah kurangkan pemakaian celana panjang. Saya mulai suka dan sangat suka
dengan rok panjang dan tak lupa kerudung panjang.
Di sinilah, perjuangan dakwah yang sesungguhnya
bermula. Pemahaman kita dan orang-orang
di sekitar kita TIDAK sama dan kita hanya SEORANG diri! Apa yang terjadi dan
apa yang harus kita perbuat?
Saya pikir ini akan mudah sebab saya berada di rumah
sendiri dan orang-orang yang dekat mencintai saya pasti bisa memahami. Namun,
kenyataannya sebaliknya.
Tantangan terbesar itu bukan dari ayah ataupun dua
saudara laki-laki saya. Mereka tak begitu ambil pusing. Ujian itu datang justru
dari ibu, orang nomor satu dalam hidup saya, yang memang sejak awal lagi tidak
merestui niat berkerudung saya.
Bismillah.
Saya bergaul dengan tetangga seperti biasa, hanya saja
saya selalu memakai kerudung biarpun cuma duduk di teras rumah sendiri. Ibu
mulai nampak murung dan sebagai wanita saya sangat bisa merasakannya. Tapi,
saya belum tahu apa sebabnya.
Lalu keadaan di rumah menjadi semakin membingungkan.
Ibu tak lagi menyuruh saya belanja keluar. Beliau selalu berusaha seawal
mungkin menyapu halaman depan rumah sebelum saya dan ibu menjadi jarang sekali
mengajak saya keluar jalan-jalan. Perasaan saya menjadi tidak enak. Sebenarnya
apa yang sedang terjadi. Kesalahan apa yang telah saya perbuat hingga membuat
ibu marah. Liburan di rumah menjadi sangat tidak menyenangkan. Saya merasa
sendiri, kesepian.
Ibu pun menjadi tidak tahan dan akhirnya meluahkan
perasaannya pada saya. Saya kaget tak percaya. Walau samar-samar, saya tahu
beliau menangis. Hati saya terluka dan jiwa saya pilu merana. Ibu sangat malu
karena saya memakai kerudung! Di depannya, air mata saya tahan kuat-kuat. Saya
tak membayangkan bahwa alasan murung dan marahnya adalah kerudung saya, yang
merupakan bukti bahwa saya menaati Sang Pencipta. Dalam kesendirian, dengan
disaksikan-Nya saya menangis sejadi-jadinya.
Iman saya barulah tumbuh bersemi, belum benar-benar
matang. Dan Allah menguji iman saya itu dengan ibu sebagai perantara. Ibu
adalah kekuatan saya. Apa-apa yang membuat ibu sedih akan melemahkan saya.
Bagaimana jadinya jika saya sendiri yang melukainya.
(Renungan:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji
lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta (TQS al-Ankabut [29]: 2-3).)
Saya coba melupakan kejadian itu dan pulang ke rumah
semasa liburan seperti biasa. Namun, ibu masih belum berubah. Saya sudah
berusaha menerangkan kenapa saya berkerudung (kecuali di dalam rumah). Ibu
masih belum bisa menerima. Saya sempat kehilangan cara meyakinkannya. Tapi,
bukan berarti saya harus menyerah. Banyak cerita saya dengar bahwa berdakwah
pada orang yang paling dekat dengan kita kadang lebih sulit daripada orang yang
tidak kita kenal.
Sukar bagi ibu menerima alasan-alasan yang saya
kemukakan. Bila ibu sudah tak mau lagi mendengar dan mencoba memahami saya,
biar saya sajalah yang mendengar dan memahaminya. Akhirnya dengan itu, saya
benar-benar tahu mengapa ibu tak bisa menerima saya dan saya akan mencoba
meluruskannya.
Saya korek satu persatu akar permasalahan. Pertama,
ibu khuatir, dengan saya berkerudung dan berpakaian longgar menutup aurat akan
mempengaruhi masa depan saya, seperti mendapat pekerjaan, hubungan
bermasyarakat, pribadi dan lain sebagainya. Kedua, para wanita yang dikenal pandai baca Al-Quran
dan doa-doa di desa tidak sampailah berkerudung tertutup sangat seperti saya.
Bahkan mereka pun kadang-kadang tidak berkerudung di luar rumah. Jika mereka
seperti itu, mengapalah saya seperti ini. Kurang lebih macam itulah jalan
pikiran ibu yang sangat sederhana itu. Beliau ingin saya menjadi muslimah yang
'biasa-biasa' saja. Sayangnya, saya tak mahukan apa yang ibu mahu. Ketiga,
hingga saya benar-benar mandiri, secara material dan non-material, dan masih
hidup di bawah tanggungan ibu, saya wajib mematuhi perintah beliau.
Air mata ini tak sanggup lagi disembunyikan. Deras ia
mengalir. Hati sakit teramat sangat. Siapakah yang mampu mengobati?
Rasa-rasanya saya tak mampu lagi berbuat apa-apa.
Mungkin saya bisa mengatasi masalah yang pertama dan kedua. Namun, masalah yang
ketiga tidaklah mudah. Sungguh pukulan berat bagi saya. Saya hanya teringat
Allah Yang Maha Kuasa memberi ujian ke atas hamba-hamba-Nya. Dan Allah tak akan
menguji hamba-Nya dengan sesuatu yang ia tak mampu melakukannya.
Sesungguhnya, ibu adalah orang pertama dan utama yang
paling saya cintai dan taati. Saya sudah beberapa kali merelakan hal-hal yang
saya sukai jika ibu tidak merestuinya dan dari segi agama itu tidak masalah.
Namun, apabila perintah dan nasihatnya bertentangan dengan perintah Allah dan
Rasul-Nya, saya tak boleh melakukannya. Saya mesti dahulukan cinta Allah dan
Rasul-Nya. Level ibu masih dalam urutan ketiga soal ketaatan.
Renungan:
Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birrul
waalidain atau bakti kepada orang tua, hanya dapat direalisasikan dengan
memenuhi tidak bentuk kewajiban:
Pertama: Menaati segala perintah orang tua, kecuali
dalam maksiat.
Kedua: Menjaga amanah harta yang dititipkan orang tua,
atau diberikan oleh orang tua.
Ketiga: Membantu atau menolong orang tua, bila mereka
membutuhkan.
Bila salah satu dari ketiga kriteria itu terabaikan,
niscaya seseorang belum layak disebut telah berbakti kepada orang tuanya.
Saya benar-benar kehilangan cara, kecuali satu, yakni
doa. Hanya Allah Sebaik-baik Penolong. Saya pun tidak lagi sering pulang ke
rumah sebab itu akan hanya menyakitkan bagi kami berdua. Sebaiknya, saya
menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan mengembangkan diri
sebagai muslimah di kota di mana saya menuntut ilmu.
========================================================
Content #6
Waktu luang menjadi sangat sedikit. Bahkan untuk
pulang sebulan sekali pun susah. Saya mengambil part time job sebagai English
tutor di beberapa Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris, formal dan informal.
Selain itu, saya mulai aktif menulis dan berorganisasi di kampus dan mengikuti
program sukarelawan di luar kampus bersama Rumah Zakat Indonesia yang sering
mengadakan acara ke luar kota. Tiada hari tanpa agenda kegiatan.
Sibuk!sibuk!sibuk! Kos-kosan menjadi sekedar tempat berehat saja, tidur,
melepas lelah dan kantuk.
Saya berazzam tidak akan pulang sebelum saya
membuktikan bahwa prasangka ibu adalah tidak benar. Kerudung dan baju penutup
aurat saya sama sekali tidak membatasi sepak terjang saya sebagai pribadi yang
aktif berprestasi.
Salah satu kegiatan yang paling berkesan ialah menjadi
sukarelawan RZI. Sering kami mengadakan acara yang melibatkan dokter-dokter
muda yang juga sukarelawan. Usia mereka mungkin sama dengan saya atau lebih
beberapa tahun. Mereka mengingatkan saya pada sosok Ustadz Fajar. Mereka beramal keahlian sebagai dokter dan
juga mendakwahkan Islam pada saat yang sama. Luar biasa, bukan! Saya sering
menyembunyikan rasa iri pada mereka. Kami, para sukarelawan, berasal dari
berbagai universitas di Malang. Kawan saya pun menjadi lebih banyak.
Ibu menjadi rindu dan sering bertanya kabar. Betapapun
beliau tidak suka dengan kerudung saya, beliau sangatlah mencintai saya.
Sebenarnya saya pun sangat rindu rumah. Padahal jarak kami bisa ditempuh 2-3
jam, namun saya harus menahan diri sehingga berhasil membuktikan pada ibu bahwa
apa yang saya yakini itu baik dan benar.
Tak lama setelah itu, saya mendapat kabar dari ayah
bahwa beliau dan ibu mulai aktif mengikuti pengajian Muhammadiyah di desa
tetangga. Itu adalah ajakan ayah dari saran kawan ayah di kantor. Berhubung
ayah sudah mau pensiun, jam kerjanya sudah tidak terlalu padat macam dulu,
sehingga beliau dengan senang hati menerima tawaran yang baik itu. Ayah
memiliki basic pendidikan militer, jadi perintahnya itu tegas. Ibu sebagai
isteri pasti lah tak berani menolak kecuali ada urusan lain yang mendesak.
Mendengar berita gembira itu, saya tahu Allah telah
mengabulkan doa saya, perlahan-lahan.
Walaupun begitu, saya tetap belum menyerah guna
mewujudkan azzam saya. Usaha-usaha yang saya upayakan itu membuat saya menjadi
lebih kuat dan mandiri, dari segi material dan spiritual. Hanya saja, kesibukan
itu membuat saya jauh dengan kegiatan usrah dan halaqah yang sebelumnya aktif
saya dan kawan-kawan jalankan tiap minggu dua kali. Di sanalah, tempat menambah
iman dan ibadah. Ketika jauh darinya, saya merasa sangat terpuruk. Iman menjadi
naik turun. Astaghfirullah.
=========================================================
Content #7
Berbagai masalah muncul. Keadaan menjadi kembali
seperti semula. Astaghfirullah. Sepertinya berjuang di Kota Bunga,
Malang tidaklah cukup membantu. Saya tidak mau mengecewakan ibu. Hanya pada
Allah, doa dipanjatkan. Hanya Allah Sebaik-baik Penolong. Diam-diam saya berdoa
dan memohon agar diberikan jalan untuk hijrah ke tempat yang lebih baik yang
akan bisa menjadikan saya pribadi yang lebih baik lagi meskipun itu jauh
sekalipun.
Kemudian, kesempatan itu datang. Saya diterima mengajar di negeri jiran,
Brunei. Allahuakbar! Saya hampir tidak percaya. Begitu tiba-tiba, bahkan
saya belum lulus ketika itu. Orang pertama yang saya hubungi saat itu ialah
ibu. Beliau lah orang pertama yang harus mendengarnya.
Allah telah membantu saya. Bantuan-Nya benar-benar
nyata. Ibu tak berkata banyak atas berita itu. Ibu malah memberi saran,
"Pikirkan baik-baik. Namun, semua keputusan ada di tanganmu, Nduk. Ibu
hanya bisa mendukung." MashaAllah. Sejak itu, ibu lebih sering
mendengar saya dan tak lagi menyangkal ini itu lagi.
Ibu pun sudah mulai memakai kerudung dan menyukai
baju-baju yang longgar terutama jubah. Beliau bahkan menyuruh saya memakai
jubah ketika keluar rumah. Saat kami berkumpul bersama keluarga besar, Ibu tak
lagi diam jika saudara-saudaranya menyindir anak perempuannya dengan sebutan,
"Bu Nyai". Ibu membela saya dan membenarkan perbuatan saya. Alhamdulillah.
Saya menangis terharu. Ibu saya tetaplah nomor satu.
Ramadhan 2012
Sudah setahun lebih saya berkhidmat di Brunei. Sedikit
banyak pengalaman manis, asam, asin dan pahit telah mengajarkan saya banyak
hal. Hijrah saya ke Brunei tidak sia-sia. Perjalanan hidup saya penuh hikmah.
Pada malam itu saya dipertemukan oleh seseorang yang
luar biasa. Saya sebenarnya sudah sering melihat beliau dan mendengar
ceramahnya di majlis-majlis Islam yang saya ikuti. Namun, pada malam itulah
saya baru benar-benar berjumpa beliau. Meski pertemuan hanya berlangsung
singkat. Pelajaran yang saya dapat dari beliau terlalu besar yang tak mungkin
saya lupakan seumur hidup saya.
Pencarian jati diri saya menjadi lengkap sudah.
Sekarang saya tahu siapa saya sebenarnya, mengapa dan bagaimana saya harus
melangkah. Mungkin, sebagai seorang muslimah, saya agak terlambat memahami
perintah menutup aurat dan berkerudung. Setidak-tidaknya, saya masih diberi
kesempatan hidup hingga saat ini dan mendapatkan hidayah itu dan semoga
berkekalan sampai saya akhirnya dipanggil pulang oleh-Nya suatu hari nanti,
mungkin esok, lusa atau kapan saja saya tak pernah tahu.
Saya tak menyalahkan siapa pun, orang tua, sanak
saudara, guru-guru dan orang dewasa (yang sepatutnya mengajarkan saya kewajiban
itu). Bagaimana saya bisa menyalahkan orang yang tidak tahu dan tidak paham.
Saya hanya bersyukur bahwa saya dilahirkan dan diberi nama yang baik sehingga
Allah sayangkan saya. Allah senantiasa memberi petunjuk dan mengirimkan
orang-orang yang hebat dan tulus untuk saya. Dia Yang Maha Kuasa atas
segala-galanya bisa saja menyesatkan saya dan membiarkan saya menjadi orang
merugi, namun Allah tak membiarkan itu terjadi.
Demikian cerita saya. Bagaimana dengan Anda?
Ya ukhti, sudah kah kalian berhijab dengan ikhlas
sepenuhnya? Jika belum, kenapa? Apa yang menghalangimu? Kau tidak siap? Apa
yang tidak membuatmu siap? Menunggu waktu? Apa yang kau tunggu? Hidayah?
Hidayah itu diperoleh tidak tiba-tiba, dia perlukan usaha. Buka lah hati dan
pikiranmu. Hadirilah majlis-majlis ilmu. Malaikat banyak hadir di sana dan
menunggumu. Dan sesungguhnya Allah itu dekat dan Dia senantiasa melihat serta berkuasa atas hatimu. Jika kau sudah dapat
rasakan nikmat iman yang lezat itu, kau akan menyadari betapa bahagianya
hidupmu yang sebenarnya.
Renungan: Daripada Anas,
Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang bermaksud:
“Apabila
seorang perempuan mendirikan sembahyang lima waktu, berpuasa sebulan
(Ramadhan), menjaga kehormatan dan taat kepada suami, dia akan disuruh memasuki
syurga melalui mana-mana pintu yang dia sukai.”
(Hadis Riwayat
Ahmad)
Ya akhi, sudahkah kalian nasihatkan ibumu,
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu,
kawan-kawan perempuanmu, tetangga-tetangga perempuanmu, murid-murid perempuanmu
dan perempuan-perempuan yang kalian kenal atau tidak untuk berhijab? Kau
memiliki kewajiban atas itu. Kenapa kau diam saja dan seolah-olah tidak peduli?
Jadilah seorang pria muslim sejati yang bisa mengubah dunia. Kau sangat mampu
melakukannya, tak ada yang meraguimu. Jika seorang saja pria muslim mampu
membawa seorang wanita dalam jalan kebaikan dan kebenaran, maka dunia ini akan
benar-benar berubah, berubah seperti apa? Coba pikirkan, renungkan dan
bersegeralah melakukannya.
(Renungan:
"Seorang lelaki bertanggungjawab ke atas 4 orang
wanita dalam hidupnya iaitu ibunya, kakak/adik perempuannya, isterinya dan anak
perempuannya.")
======================================================
Closing
Pada liburan sekolah tahun lepas, saya pulang kampung.
Kondisi fisik kampung halaman banyak berubah. Tiba-tiba saya merasa sedang
berada di tempat lain. Pembangunan ini itu berlangsung tak henti-hentinya.
Semoga pertumbuhan ekonomi yang diharapkan meningkat itu bisa selaras dengan
peningkatan pemahaman atas kualitas pendidikan, terutama agama.
Sepertinya masih belum. Impian itu masih memerlukan
waktu. Sampai bila, saya tidak tahu. Tapi, saya yakin impian itu akan segera
dan tak lama lagi.
Pagi itu, saya sedang duduk-duduk santai di dapur.
Suasana rumah begitu sunyi sepi. Tiba-tiba ibu datang dari arah pintu samping
rumah dengan tergopoh-gopoh.
"Ibu, dari mana?" sapa saya.
"Dari belanja keluar, Nduk." jawab Ibu,
nampak agak bingung.
"Lho, dari luar kok nggak pakai tudung
sich?" tanya saya keheranan.
"Oh, ya ya lupa, Nduk! Tadi terburu-buru. Maaf,
ya Nduk." jelas Ibu dengan agak malu-malu sambil tangannya memegang
kepala.
"Jangan maaf sama saya, Bu. Maafnya sama
Allah." kata saya membenarkan.
"Oh, iya ya, hehe." jawab Ibu singkat dengan
sedikit cengingisan.
Islam itu Indah
dan Meng-indah-kan
Sekian
| My Beautiful Friends and I (with my first large brown scarf) in Ramadhan 2006/7 |
| My Y6 Students and I on Convocation Ceremony 2012 |
| Okaasan to Otousan |
| Abdul and I at Empire Hotel |

ceritanya bagus, dan panjaang sekali.. hehe
ReplyDeletesemoga bisa menjadi motivasi bagi para muslimah lainnya yang belum berkerudung. dan semoga Allah juga menjaga hidayah anti agar tetap teguh menjaga hijabnya dengan ditunjukkannya anti kepada manhaj yang benar yang harus ditempuh selanjutnya. barakallahufikum.
dan sedikit catatan untuk tulisannya, janganlah berkata bahwa "Allah ada di mana-mana" tapi katakanlah bahwa "Allah bersemayam di atas Arsy, dan Arsy berada di atas langit" sebagaimana keyakinan ini diyakini oleh para imam mahdzab dan sesuai dengan petunjuk dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. wallahua'lam.
Mashaa'Allah.
ReplyDeleteJazakallah khairan katsiran atas catatannya. Saya kan coba mengeditnya lagi.
Semoga tulisan yang sederhana dan jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuh dari sempurna ini boleh bermanfaat bagi pembaca, muslimah khususnya. Saya berharap tidak hanya menulisnya tapi juga men-share-kannya secara langsung kepada yang ingin dan harus mendengarnya, In Shaa Allah sebab membaca masih belum diminati kebanyakan orang, bahkan orang Islam sendiri.