Tita, panggilan akrabnya, tak
sepakat dengan ide spontan saya itu – Yuk, ke Jepang!? Saya pun dah biasa
mengalami penolakan. Santai saja. Meski saya dibujuk mengubah destinasi, saya tetap tidak tertarik pergi ke tempat lain
(kecuali memang ada kepentingan, silaturahim misalnya).
Lalu, Tita berbagi informasi
kalau temannya pernah melakukan trip ke Jepang bersama seorang penulis dan
followers-nya. Dan bla bla bla….ujung-ujungnya temannya Tita bilang pendaftaran
sudah ditutup! Gedubrakkkkkkkk! Pyaaaaaaaaaaaaar!
Saya rasakan otak saya menyimpan
keingintahuan yang luar biasa dan jiwa menumpahkan semangat yang
menggebu-nggebu. Pada hari yang sama, saya langsunggoogling penulis yang dimaksud itu dan mempelajari profil dan background kehidupannya. Keraguan
sirna…. rasa percaya diri pun memancar.
Saya berlari sambil memanggil
ibu, my heroin. Restu dan doanya
adalah satu-satunya kunci yang bisa membuka segala ‘pintu’. Hanya dengan
beliau, saya bisa bebas bermanja-manja dan merengek-rengek. Ya, saya akui saya
‘Anak Mama’. Hanya ibu lah yang sampai detik ini mampu membuat saya teguh
menjadi diri sendiri. Ibu saya terlalu unik untuk digambarkan. Beliau
kadang-kadang seperti ibunya San Chai (film Meteor
Garden), ibunya Maruko (film Chibi
Maruko Chan) dan ibunya Tomoko (film Friends).
Saya ini bisa jadi gabungan dari San Chai, Maruko dan Tomoko haha :D lebayyyy!
Saya tatap mata ibu dalam-dalam
dan mengutarakan maksud dan rencana perjalanan secara singkat tapi jelas. Saya
sebenarnya tidak tega mengatakannya sebab saya baru saja pulang dan tiba-tiba
ingin pergi ke luar negeri lagi. Akan tetapi, ada dorongan yang begitu kuat
memberanikan saya. Dan ibu hanya terdiam dan menggantung jawabannya.
Sebaiknya saya memang memberi
waktu ibu untuk berpikir. Saya bisa maklumi betapa kuatirnya ibu melepas saya
pergi. Namun, saya tidak boleh hanya berdiam diri menunggu hujan meteor turun
dari langit (hoho hiperbola apa hubungannya dengan meteor jatuh). Sesegera
mungkin setelah itu, saya kirim email pada penulis itu. Sehari, dua hari sampai
tiga hari tidak ada balasan dan jumlah email yang saya kirim sudah mencapai
angka tujuh.
Mungkin email saya agak annoying bagi orang yang kerjaannya buka
mailbox. Sebab email saya selalu datang setiap hari dengan isi yang berbeda
tapi dengan niat yang sama. Man Jadda wa
Jadda. Email saya direspon! Dan prosedur A-Z pun dimulai. Alhamdulillah.
Pada waktu yang hampir bersamaan,
ibu pun akhirnya luluh tapi dengan syarat. Saya boleh pergi asalkan ada kawan
yang dikenal. Terpaksa harus putar otak. Masalahnya ini tidak seperti ngajak
teman main ke Jakarta, Surabaya atau Malang tapi ke Jepang. Siapa gerangan yang
mau dan juga siap? Tingggggggg! Lampu hijau menyala! Rani, teman sama-sama gila
Jepang tapi dia juga gila Korea (nggak tau mana yang dia gila-gilain o_O
Aduuuuuh bahasa saya kayak tahu campur T_T).
Setelah proses talik ulur,
negosiasi dan tukar pikiran, dia mau. Ploooooooooong! Alhamdulillah, ada teman.
Ibu pun ikut lega apalagi Rani dan ibu sudah sangat kenal satu sama lain. Dan kami
sejak kecil memang bermimpi pergi ke Jepang sama-sama. Satu masalah teratasi.
Sehari, dua hari berlalu. Rani
kok sepi-sepi saja. Nggak ada bising-bisingnya. Setidaknya dia tanya ini itu.
Perasaan saya ganjil. Saya WA dia, sms dia dan telepon dia. Dan ternyata dia
nggak jadi ikut. Pyaaaaaaaaaaaaaaaaar! Piring setinggi gunung Bromo berguguran.
Ingin sekali saya menangis tapi
air mata saya terlalu berharga. Saya mencoba duduk tenang dan merenung. Kecewa?
Mh, well I just used to face that kind of
thing. It’s a piece of cake. I told myself entertaining….Saya tak boleh
jadi pengecut. Bukankah saya sendiri yang memulainya. Jadi tidak ada hak orang
lain yang bisa mengakhirinya kecuali saya sendiri yang menyerah. Dan keputusan
saya adalah tetap melangkah ke depan. Saya masih ingat kalimat penyemangat itu.
Allah tidak akan mengubah nasib suatu
kaum hingga kaum itu mengubah nasibnya sendiri.
Dengan penuh hormat, saya terima
keputusan Rani dan kembali pada ibu untuk meyakinkan beliau. Tentu saja ibu
jadi sedih. Ouou….Saya pun akhirnya berdalil kisah-kisah perjalanan saya tiga
tahun terakhir tanpa seorang pun yang saya kenal dan terbukti saya berhasil atas
Rahmat Allah dan doa ibu.
Ibu terus berpikir. Oh, kasihan
beliau. Saya pun tak henti-hentinya bercerita, lebih tepatnya beralasan untuk
memperkuat pentingnya perjalanan saya yang satu ini hehe (kedengarannya mekso
bangets).
Dalam proses meluluhkan hati ibu,
saya sudah melakukan ¼ proses menuju ke Jepang. Saya tahu sebenarnya ibu
mengijinkan karena sepuluh tahun yang lalu beliau sudah memberi restu dan
doanya pada impian saya ke Negeri Sakura. Mungkin beliau menunggu saya berubah
pikiran dan saya rasa itu agak mustahil kecuali Allah berkehendak lain.
To Be Continued ….
What's next?
Saya sudah dua kali datang ke Konsulat Jenderal Jepang untuk
pengajuan visa (yang ternyata memiliki persyaratan yang bermacam-macam).
Seperti permainan monopoly, saya kena kartu ‘Anda Belum
Beruntung’, Pengajuan visa saya belum bisa diterima alias ditolak. Kyaaaaaa.
Hiks hiks hiks.
Fullhouse, 26 January 2014
11._ _ PM
No comments:
Post a Comment