Setelah
sekian lama tidak menginjakkan kaki di Konjen (Konsulat Jenderal) Jepang
Surabaya, rasa-rasanya baru kemarin saya datang ke sana dan hari ini saya
datang lagi. Dulu, saking tergila-gilanya pengen ke Jepang, saya suka
‘main-main’ ke Konjen. Sama petugas security-nya, saya selalu ditanya dan naturally saya pandai beralasan. With love, you can be smarter than usual
hehe…Ada aja idenya. Percaya dech?!
Gedung
Konjen sama sekali tidak berubah, bahkan toiletnya pun tetap sama. Penataan ruangan,
lantainya, perpustakaan kayaknya semuanya remain
the same. Begitu pula, hati saya, mimpi saya…
Waktu
itu, sebelum meninggalkan gedung krim abu-abu, saya berjanji akan datang lagi
dan saya pasti akan pergi ke Jepang. Tak seorang pun tahu akan janji itu, namun
saya yakin seyakin-yakinnya, Dia mendengar saya.
Pertama
kali mengurus visa akhir Desember kemarin, saya benar-benar bahlul.
Berkas-berkas yang saya siapkan kurang dan lebih erornya lagi saya tidak
mengecek jadwal buka/tutup pengajuan visa T_T. Kaki baru turun dari bus di
Gubeng, ehhhh teng!teng!teng! sudah masuk jam makan siang yang artinya loket
pengajuan visa sudah ditutup dan itu baru saya sadari ketika saya sedang
menikmati homemade lunch bento saya.
Sudah
jauh-jauh datang ke Surabaya dengan perut keroncongan, saya tak mau usaha saya
sia-sia. Saya tetap pergi ke konjen (padahal sudah tutup). Betapa memajalnya saya (memajal=memaksa diri).
Intuisi saya mengatakan dia mendukung saya. Jadi ya saya pergi saja.
Sesampai
di sana….sepiiiiiiiiii! Ya tentu saja, kan tutup. Ditanyai petugas, “Mau
ngapain, mbak?” saya jawab dengan gaya khas mahasiswa sok sibuk, kayak anak
yang kemarin baru dapat beasiswa Monbukagakusho, sangat percaya diri :D
Alhamdulillah, saya dipersilakan masuk setelah melalui mesin-mesin pendeteksi
yang sudah agak tua itu.
Saya
duduk-duduk sambil mata jelalatan ke kanan kiri membaca memo yang tertempel di
sana-sini. Beberapa saat kemudian, ada pria (looks fatherly) masuk clingak-clinguk. Sepertinya, saya pernah
melihat beliau tapi saya tak begitu ingat kapan dan di mana.
Nggak mau
sok ribet ngurusin memori alias daya ingat, saya tetap duduk dan mempelajari
syarat-syarat pengajuan visa yang mulai membuat pening kepala saya. Diam-diam
bapak tadi memperhatikan saya dan lalu bertanya-tanya. Terjadilah dialog.
Ternyata
bapak itu sedang mengurusi visa-visa orang yang mau pergi ke Jepang. Dengan
senang hati, beliau mengajari saya yang buta prosedur ini. Saya begitu
bersyukur. Meski saya tidak dilayani oleh pegawai Konjen, informasi dari bapak
yang sudah berpengalaman itu sangat penting bagi saya. Untung saya keras kepala
tetap datang walau sudah tutup.
Tak
semuanya berita yang dibagikan bapak tadi menyenangkan saya. Kebanyakannya
malah membuat saya menelan ludah, namun sekuat mungkin saya tak ingin
menunjukkan kekhawatiran saya. Saya tetap tersenyum, mendengar sepenuh hati dan
menatap dengan mata berbinar-binar.
Berita
yang paling tidak bisa membuat saya senyum adalah Konjen akan tutup menjelang
dan seminggu selama Tahun Baru. Seakan-akan satu timba air jatuh di atas kepala
saya. Byooooooooooor! Bagaimana ini? Saya tak ada banyak waktu untuk menunggu
terlalu lama. Resikonya adalah saya TIDAK JADI ke Jepang. Uh, mengerikan sekali.
Saya pun
pulang ke rumah. Ibu tanya. Saya jawab apa adanya. Tanpa diduga, ibu malah
menyemangati saya. Hiks, hiks, hiks….arigatou,
okaasan T_T
Liburan
Konjen berakhir….
Dengan
semangat menggebu-nggebu saya persiapkan semuanya dengan sempurna (saya pikir
sudah sempurna). Pertarungan saya bukan hanya dengan berkas-berkas yang mbulet melainkan juga dengan waktu – deadline!
Dini hari
keberangkatan, sekitar jam 1 pagi, Ibu membangunkan saya. Tapi saya tidak mau
bangun. Saya jawab sambil mata terpejam. Lalu beliau mengelus-ngelus rambut
saya dan memberitahu bahwa nenek satu-satunya yang saya miliki dan baru
seminggu kemarin kami sekeluarga menjenguknya telah meninggal dunia T_T.
Saya
masih saja tidak mau bangun. Dan saya tidak mau membuka mata. Hati saya hancur
dan saya bingung. Akan kah saya tetap pergi ke Konjen hari itu? Separuh
kekuatan saya telah hilang.
Ibu
bertanya, “Harus hari ini kah ke Surabaya? Tidak bisakah ditunda hari lain?”
Saya jawab dengan lemas, “Saya tidak tahu….jika tidak hari ini , tenggang waktu
yang diberikan semakin sedikit. Saya
tidak tahu apakah setelah itu saya masih mampu berlari atau tidak*” (*
ucapan yang dibuat kiasan untuk tulisan ini) “Ya sudah lah. Tidak apa-apa.
Pergilah, Nduk.”
Saya
sungguh merasakan sakit sekali di sini, di hati. Keras kepala saya kali ini
sungguh keterlaluan. Saya menyadari itu.
Sebelum
berangkat ke stasiun, saya bilang pada ibu, “Ibu, tunggu ya saya akan pulang
sebelum siang.” Ibu merespon penuh percaya, “Iya, Nduk. Hati-hati ya. Semoga
visanya berhasil.”
Pagi hari
itu….suasana stasiun Jombang nampak sepi. Saya duduk di kursi panjang di depan
jalur rel kereta api yang akan saya naiki. Seorang diri saya menatap kosong
batu-batu kecil di depan bola mata saya. Air mata menggenang….Maafkan, saya
nenek. Maafkan saya…. T_T
Saya
harus tetap kuat. Yang hidup mesti kudu bersemangat, berjuang.
Loket
pengajuan visa dipenuhi ragam manusia dari berbagai ras bangsa. Di pojok
ruangan bapak yang saya jumpai beberapa minggu yang lalu tengah duduk menunggu.
Saya sapa
beliau. Lalu kami pun bercakap-cakap. Beliau membantu mengecek berkas-berkas
yang saya bawa. Hari itu, saya lupa bawa alat tulis. Semuanya bapak itulah yang
meminjamkan pada saya. Bahkan beliau, merapikan dan menyusun dokumen-dokumen
saya. Betapa malunya.
Nomor
antrian saya dipanggil. Dengan cukup tenang, saya melangkahkan kaki dan
berjalan menuju ke loket. Sungguh di luar dugaan, saya diinterview banyak
sekali. Dokumen di luar persyaratan pun ditanya dan tidak saya bawa.
Ujung-ujungnya petugasnya meminta maaf belum bisa menerima pengajuan visa saya
hari itu. Uh….saya seperti daun yang gugur dari pohonnya dan tertepa angin
kencang dan terbang jauh lalu jatuh ke sungai yang dibawahnya airnya mengalir
deras. Daun itu pun basah dan tenggelam.
Saya
terima kenyataan dengan lapang dada dan hati yang bersedih. Saya lalu segera
keluar Konjen dan mengejar kereta balik ke Jombang sebab saya sudah janji
pulang sebelum siang.
Dalam
perjalanan, ibu menelepon apakah pengajuan visa saya berhasil atau tidak.
Setelah itu, ibu tak lagi bertanya apa-apa.
Masa yang
tersisa kurang dari 2 minggu dan saya masih belum ada visa dan juga
lain-lainnya. Semangat saya sempat meredup. Saya adalah daun yang telah jatuh
dan kebasahan. Sepertinya tak ada harapan.
Ibu,
lagi-lagi, membakar semangat saya. “Ayo, jangan malas. Kalau tidak sekarang,
kapan lagi. Mimpimu sedang menunggumu di sana. Kamu harus pergi.”
Haaaaaaaah?
He’eh!
Terima kasih, ibu.
Dua hari
setelah itu, saya datang lagi ke Konjen. Satpamnya sampai kenal dengan muka
pasaran saya. Katanya, “Ngurusi visa lagi, mbak?”. Kami seakan-akan kawan lama,
ngobrol di depan pintu security haha.
Waktu
masuk loket….lho, kok sepi. Hanya saya seorang. Lain daripada hari-hari
sebelumnya, berkas-berkas saya dilihat-lihat dan tanpa ditanya APA PUN, saya
disodori kartu pengambilan paspor. Artinya jika visa saya di-approve,
stickernya akan tertempel di paspor, tapi apabila ditolak lain ceritanya.
Kabarnya, kalau ditolak nama saya untuk beberapa masa tertentu akan
di-blacklist tidak bisa masuk ke Negara Jepang. Sungguh menyeramkan!
Sebelum
meninggalkan konjen, saya sempat curhat sama bapak satpam. “Pak, saya tadi
dibagi kartu macam ini. Visa saya pasti di-approve kan pak, ya?” Saya mungkin
nampak polos dan bahlul sekali. Namanya juga first-timer ya mohon dimaklumi. Dan saya sudah kebal kalau soal tanya-menanya.
Bapak satpam mencoba menghibur, “Sudah dapat kartunya ya. Ya sudah ditunggu
saja. Nanti ke sini lagi ya.” Jawabannya menggantung @_@.
Waktu
tinggal seminggu lagi.
Sehari
sebelum saya ke Konjen lagi, saya sempatkan menghadiri pengajian ustadz idola
saya, ustadz Abdullah Al-Hadrami, di Masjid An-Nur Jagalan. Bersama mbak Lilik,
kami berdua duduk di shaf nomor dua. Topiknya kala itu ngomongin tentang sabar.
Apa pun yang Allah tentukan untuk para hamba-Nya adalah yang terbaik. Itu
pasti. Beliau menceritakan kisah seorang Raja dan kedua penasihatnya. Ada yang
sudah pernah dengar kisahnya. Mesti tahu tuh! Bagus sekali.
Dari
Malang-Surabaya, saya naik KA Penataran Express. Di sepanjang perjalanan, saya
putar lagunya Zain Bikha berkali-kali tetap saja nggak bosan. Allah knows.
Allah knows. Mbak Lilik sekali lagi mengingatkan tentang ceramah ustadz
Abdullah. No matter what might happen
next, Allah knows the best.
No comments:
Post a Comment