Monday, February 3, 2014

Pursuit of Childhood Dream Part 3



Setelah sekian lama tidak menginjakkan kaki di Konjen (Konsulat Jenderal) Jepang Surabaya, rasa-rasanya baru kemarin saya datang ke sana dan hari ini saya datang lagi. Dulu, saking tergila-gilanya pengen ke Jepang, saya suka ‘main-main’ ke Konjen. Sama petugas security-nya, saya selalu ditanya dan naturally saya pandai beralasan. With love, you can be smarter than usual hehe…Ada aja idenya. Percaya dech?!

Gedung Konjen sama sekali tidak berubah, bahkan toiletnya pun tetap sama. Penataan ruangan, lantainya, perpustakaan kayaknya semuanya remain the same. Begitu pula, hati saya, mimpi saya…

Waktu itu, sebelum meninggalkan gedung krim abu-abu, saya berjanji akan datang lagi dan saya pasti akan pergi ke Jepang. Tak seorang pun tahu akan janji itu, namun saya yakin seyakin-yakinnya, Dia mendengar saya. 

Pertama kali mengurus visa akhir Desember kemarin, saya benar-benar bahlul. Berkas-berkas yang saya siapkan kurang dan lebih erornya lagi saya tidak mengecek jadwal buka/tutup pengajuan visa T_T. Kaki baru turun dari bus di Gubeng, ehhhh teng!teng!teng! sudah masuk jam makan siang yang artinya loket pengajuan visa sudah ditutup dan itu baru saya sadari ketika saya sedang menikmati homemade lunch bento saya.
Sudah jauh-jauh datang ke Surabaya dengan perut keroncongan, saya tak mau usaha saya sia-sia. Saya tetap pergi ke konjen (padahal sudah tutup).  Betapa memajalnya saya (memajal=memaksa diri). Intuisi saya mengatakan dia mendukung saya. Jadi ya saya pergi saja. 
Sesampai di sana….sepiiiiiiiiii! Ya tentu saja, kan tutup. Ditanyai petugas, “Mau ngapain, mbak?” saya jawab dengan gaya khas mahasiswa sok sibuk, kayak anak yang kemarin baru dapat beasiswa Monbukagakusho, sangat percaya diri :D Alhamdulillah, saya dipersilakan masuk setelah melalui mesin-mesin pendeteksi yang sudah agak tua itu. 
Saya duduk-duduk sambil mata jelalatan ke kanan kiri membaca memo yang tertempel di sana-sini. Beberapa saat kemudian, ada pria (looks fatherly) masuk clingak-clinguk. Sepertinya, saya pernah melihat beliau tapi saya tak begitu ingat kapan dan di mana. 
Nggak mau sok ribet ngurusin memori alias daya ingat, saya tetap duduk dan mempelajari syarat-syarat pengajuan visa yang mulai membuat pening kepala saya. Diam-diam bapak tadi memperhatikan saya dan lalu bertanya-tanya. Terjadilah dialog. 
Ternyata bapak itu sedang mengurusi visa-visa orang yang mau pergi ke Jepang. Dengan senang hati, beliau mengajari saya yang buta prosedur ini. Saya begitu bersyukur. Meski saya tidak dilayani oleh pegawai Konjen, informasi dari bapak yang sudah berpengalaman itu sangat penting bagi saya. Untung saya keras kepala tetap datang walau sudah tutup. 
Tak semuanya berita yang dibagikan bapak tadi menyenangkan saya. Kebanyakannya malah membuat saya menelan ludah, namun sekuat mungkin saya tak ingin menunjukkan kekhawatiran saya. Saya tetap tersenyum, mendengar sepenuh hati dan menatap dengan mata berbinar-binar. 
Berita yang paling tidak bisa membuat saya senyum adalah Konjen akan tutup menjelang dan seminggu selama Tahun Baru. Seakan-akan satu timba air jatuh di atas kepala saya. Byooooooooooor! Bagaimana ini? Saya tak ada banyak waktu untuk menunggu terlalu lama. Resikonya adalah saya TIDAK JADI ke Jepang. Uh, mengerikan sekali. 
Saya pun pulang ke rumah. Ibu tanya. Saya jawab apa adanya. Tanpa diduga, ibu malah menyemangati saya. Hiks, hiks, hiks….arigatou, okaasan T_T
Liburan Konjen berakhir….
Dengan semangat menggebu-nggebu saya persiapkan semuanya dengan sempurna (saya pikir sudah sempurna). Pertarungan saya bukan hanya dengan berkas-berkas yang mbulet melainkan juga dengan waktu – deadline
Dini hari keberangkatan, sekitar jam 1 pagi, Ibu membangunkan saya. Tapi saya tidak mau bangun. Saya jawab sambil mata terpejam. Lalu beliau mengelus-ngelus rambut saya dan memberitahu bahwa nenek satu-satunya yang saya miliki dan baru seminggu kemarin kami sekeluarga menjenguknya telah meninggal dunia T_T.
Saya masih saja tidak mau bangun. Dan saya tidak mau membuka mata. Hati saya hancur dan saya bingung. Akan kah saya tetap pergi ke Konjen hari itu? Separuh kekuatan saya telah hilang. 
Ibu bertanya, “Harus hari ini kah ke Surabaya? Tidak bisakah ditunda hari lain?” Saya jawab dengan lemas, “Saya tidak tahu….jika tidak hari ini , tenggang waktu yang diberikan semakin sedikit. Saya tidak tahu apakah setelah itu saya masih mampu berlari atau tidak*” (* ucapan yang dibuat kiasan untuk tulisan ini) “Ya sudah lah. Tidak apa-apa. Pergilah, Nduk.”
Saya sungguh merasakan sakit sekali di sini, di hati. Keras kepala saya kali ini sungguh keterlaluan. Saya menyadari itu. 
Sebelum berangkat ke stasiun, saya bilang pada ibu, “Ibu, tunggu ya saya akan pulang sebelum siang.” Ibu merespon penuh percaya, “Iya, Nduk. Hati-hati ya. Semoga visanya berhasil.”
Pagi hari itu….suasana stasiun Jombang nampak sepi. Saya duduk di kursi panjang di depan jalur rel kereta api yang akan saya naiki. Seorang diri saya menatap kosong batu-batu kecil di depan bola mata saya. Air mata menggenang….Maafkan, saya nenek. Maafkan saya…. T_T
Saya harus tetap kuat. Yang hidup mesti kudu bersemangat, berjuang. 
Loket pengajuan visa dipenuhi ragam manusia dari berbagai ras bangsa. Di pojok ruangan bapak yang saya jumpai beberapa minggu yang lalu tengah duduk menunggu. 
Saya sapa beliau. Lalu kami pun bercakap-cakap. Beliau membantu mengecek berkas-berkas yang saya bawa. Hari itu, saya lupa bawa alat tulis. Semuanya bapak itulah yang meminjamkan pada saya. Bahkan beliau, merapikan dan menyusun dokumen-dokumen saya. Betapa malunya. 
Nomor antrian saya dipanggil. Dengan cukup tenang, saya melangkahkan kaki dan berjalan menuju ke loket. Sungguh di luar dugaan, saya diinterview banyak sekali. Dokumen di luar persyaratan pun ditanya dan tidak saya bawa. Ujung-ujungnya petugasnya meminta maaf belum bisa menerima pengajuan visa saya hari itu. Uh….saya seperti daun yang gugur dari pohonnya dan tertepa angin kencang dan terbang jauh lalu jatuh ke sungai yang dibawahnya airnya mengalir deras. Daun itu pun basah dan tenggelam.
Saya terima kenyataan dengan lapang dada dan hati yang bersedih. Saya lalu segera keluar Konjen dan mengejar kereta balik ke Jombang sebab saya sudah janji pulang sebelum siang. 
Dalam perjalanan, ibu menelepon apakah pengajuan visa saya berhasil atau tidak. Setelah itu, ibu tak lagi bertanya apa-apa. 
Masa yang tersisa kurang dari 2 minggu dan saya masih belum ada visa dan juga lain-lainnya. Semangat saya sempat meredup. Saya adalah daun yang telah jatuh dan kebasahan. Sepertinya tak ada harapan.
Ibu, lagi-lagi, membakar semangat saya. “Ayo, jangan malas. Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Mimpimu sedang menunggumu di sana. Kamu harus pergi.”
Haaaaaaaah?
He’eh! Terima kasih, ibu. 
Dua hari setelah itu, saya datang lagi ke Konjen. Satpamnya sampai kenal dengan muka pasaran saya. Katanya, “Ngurusi visa lagi, mbak?”. Kami seakan-akan kawan lama, ngobrol di depan pintu security haha.
Waktu masuk loket….lho, kok sepi. Hanya saya seorang. Lain daripada hari-hari sebelumnya, berkas-berkas saya dilihat-lihat dan tanpa ditanya APA PUN, saya disodori kartu pengambilan paspor. Artinya jika visa saya di-approve, stickernya akan tertempel di paspor, tapi apabila ditolak lain ceritanya. Kabarnya, kalau ditolak nama saya untuk beberapa masa tertentu akan di-blacklist tidak bisa masuk ke Negara Jepang. Sungguh menyeramkan!
Sebelum meninggalkan konjen, saya sempat curhat sama bapak satpam. “Pak, saya tadi dibagi kartu macam ini. Visa saya pasti di-approve kan pak, ya?” Saya mungkin nampak polos dan bahlul sekali. Namanya juga first-timer ya mohon dimaklumi. Dan saya sudah kebal kalau soal tanya-menanya. Bapak satpam mencoba menghibur, “Sudah dapat kartunya ya. Ya sudah ditunggu saja. Nanti ke sini lagi ya.” Jawabannya menggantung @_@. 
Waktu tinggal seminggu lagi. 
Sehari sebelum saya ke Konjen lagi, saya sempatkan menghadiri pengajian ustadz idola saya, ustadz Abdullah Al-Hadrami, di Masjid An-Nur Jagalan. Bersama mbak Lilik, kami berdua duduk di shaf nomor dua. Topiknya kala itu ngomongin tentang sabar. Apa pun yang Allah tentukan untuk para hamba-Nya adalah yang terbaik. Itu pasti. Beliau menceritakan kisah seorang Raja dan kedua penasihatnya. Ada yang sudah pernah dengar kisahnya. Mesti tahu tuh! Bagus sekali. 
Dari Malang-Surabaya, saya naik KA Penataran Express. Di sepanjang perjalanan, saya putar lagunya Zain Bikha berkali-kali tetap saja nggak bosan. Allah knows. Allah knows. Mbak Lilik sekali lagi mengingatkan tentang ceramah ustadz Abdullah. No matter what might happen next, Allah knows the best.







No comments:

Post a Comment