Pursuit
of Childhood Dream
“Ninga_chan,
irrasshaimase!”*
When
you feel all alone in this world
And
there’s nobody to count your tears
Just
remember, no matter where you are
Allah
Knows Allah Knows
When
you’re carrying a monster load
And
you wonder how far you can go
With
every step on that road that you take
Allah
Knows Allah Knows
No
matter what inside or out
There’s
ONE thing of which there’s NO doubt
Allah
Knows Allah Knows
And
whatever lies in the heavens and the earth
Every
star in the whole universe
Allah
Knows Allah Knows
(quoted
from the first lyrics of ‘Allah Knows’ by Zain Bikha)
Petikan lagu di atas adalah
‘soundtrack’ tulisan kali ini. Dia hadir bahkan jauh sebelum penulis memiliki
ide dan niat menulis (ini), ketika sedang dan akhirnya dia akan senantiasa
hadir di hati penulis. Is there anyone
who has any doubts of the message (of the song)? If yes, well I’m so sorry to
hear that.
Apakah Anda punya mimpi? Bukan
mimpi ketika tidur, lho ya. Mhmh….ya mimpi! Bisa dinamakan juga harapan,
angan-angan, cita-cita atau ambisi. Bagi
saya sendiri, saya lebih suka
memanggilnya ‘mimpi’. Kedengarannya memang agak melancholic/childish dan
sepertinya susah untuk diwujudkan atau bahkan hampir mustahil. Akan tetapi,
sepatah kata itu terdengar begitu besar di telinga saya. Dan dia pun bisa
membuat saya ‘kuat’ dan pantang menyerah. “Saya mempunyai mimpi.” Keren
kan?! “I have a dream” Doesn’t it sound
great? Atau versi bahasa lainnya, “Watashi wa yume ga arimasu.”
Sugoiiiiiiiiiiii!
Btw, ngomong-ngomong soal mimpi,
saya ada cerita. Waktu kuliah dulu saya sempat menghadiri talk show seorang
penulis sekaligus traveler Eropa di puskot Malang. Di akhir cerita, yang hadir
dipersilakan speak-up untuk
berpendapat atau bertanya. Pembicara yang paling menarik akan diberi hadiah
buku karangan penulis. Saat itu, saya kepedean dan memberanikan diri ngomong
soal ‘mimpi’ dan menanyakan peranannya dalam kehidupan penulis yang
bersangkutan. Dan waktunya pemberian hadiaaaaaaaaaah….taraaaaaaaaaa tet tet tet
teret tet tet :D akhirnya buku gratis itu sampai juga ke tangan saya dan
langsung saya terima dari penulisnya. Penulisnya memilih saya karena tertarik
dengan uraian saya tentang mimpi. Siapakah nama penulis itu? Beliau adalah Sigit
Susanto. Dan buku yang beliau berikan saat itu ialah berjudul ‘Menyusuri
Lorong-Lorong Dunia Jilid 2’.
Sebagian besar yang ada di list impian saya
terinspirasi dari kejadian-kejadian remeh-temeh ketika kecil dulu. Namun, saat
keinginan itu muncul di usia dewasa dengan akal yang Alhamdulillah sehat, saya
tak lagi menamakannya ‘mimpi’ melainkan ‘ambitions’ whohohoho…. (Mungkin ada di
antara Anda yang mengganggap kata ‘ambition’ terlalu berlebihan dan mengandung
hal yang negatif. Saya sarankan, “Be open-minded!” sebab ketika saya meminta
murid-murid saya menulis karangan bertajuk ‘My Ambition’, the result is
unexpectedly amazing! The Power of Words - bukan The Power of Swords hehe)
Dan Alangkah indahnya, ketika
mimpi dan ambisi ditakdirkan bertemu. Seperti laki-laki dan perempuan yang
berjodoh…..so beautiful! Waduh kok jadi mblarah topiknya haha sorry. Gomen ne.
Allright! Back to the dreams.
Everyone
has a dream(s). Absolutely! Kalau tidak, berarti dia ‘mati’.
Saya tak perlu menjelaskan panjang lebar mengapa saya berani berpendapat
seperti itu. Bayangkan saja jika Anda sendiri hidup (sekarang) tanpa mimpi.
Bisa? Oh, bisa ya?! Kata orang yang seide dengan saya berarti Anda termasuk
mayat hidup. Hidup tapi tanpa semangat hidup. Atau peribahasanya ‘Hidup Segan
Mati Tak Mau’. Seorang buruh tani dan tukang becak, tetangga saya, saja punya
mimpi, tentu akan sangat memalukan generasi yang berpendidikan justru malas
bahkan hanya sekedar untuk bermimpi.
Sebelum saya teruskan tulisan
saya ini, saya ingin mengklarifikasi bahwa saya tak bermaksud ‘crowing’ atau
membangga-banggakan diri atas apa yang telah mampu saya lakukan sampai saat
ini. Ada beberapa alasan saya memutuskan menulis. Pertama, tulisan ini adalah
wujud syukur saya pada Allah SWT. Tiada seorang pun makhlukdi dunia ini
termasuk kita sendiri yang bisa mengenali dan memahami siapa diri kita
sebenarnya. Dia Hanya Satu – La ilaha illallah. Kedua, saya hendak mengabadikan
nama seseorang yang ‘special’ dalam tulisan yang akan Anda tahu kemudian.
Ketiga, permintaan sahabat kecil dan seniorita tercinta untuk menuliskan kisah
perjalanan yang tak terduga ini. Keempat sekaligus terakhir, saya ingin berbagi
pengalaman dan rasa kepada semua orang
yang mempunyai mimpi dan setia pada-Nya. Dan juga pada orang-orang yang
memandang sinis dan meremehkan mimpi-mimpi saya, walaupun mereka agak
menyebalkan wakakaka :D tapi secara pribadi sangat memotivasi saya dengan cara
yang unik.
Dari sini Anda sudah tahu mengapa
note ini ditulis. Apabila Anda tidak setuju dengan dasar penulisannya, Anda
bisa berhenti membaca mulai dari sekarang hwehehe (serius amat sich!)
Moving
on…
Sudah pernah saya tulis di
note-note sebelumnya bahwasannya saya memang pengen bangeeeeeeeeeeets ke Jepang.
Pernyataan itu terlontar langsung dari mulut
ketika saya masih duduk di bangku SD. Kayaknya saya kesemsem sama Satria
Baja Hitam dan Ultra Man atau nggak jauh-jauh Doraemon dech haiyaaaaaa. Kegilaan
saya (tapi nggak gila beneran lho ya) semakin memancarkan sinarnya ketika SMA.
Saya tak akan membahasnya lagi di sini. Sila merujuk di note-note saya
sebelumnya jika tertarik : )
Setelah semua ikhtiar saya gagal,
saya jadi tahu diri hiks hiks. Dengan penuh kesadaran total, saya putuskan
berhenti MENGEJAR mimpi. Saking sedihnya, saya nangis semalaman kemudian tidur.
Selesai. Game Over. Sesimpel itu ternyata. Karena menyerah tak memerlukan
perjuangan. Kalau pengorbanan sich iya, pengorbanan batin alias sakit hati
hehe.
Selepas itu, saya tak lagi
merencanakan apa pun. Saya ingin mimpi saya…. jika memang dia menjadi takdir
saya biarlah dia datang secara alami, tak payah dipaksa-paksakan. Saya serahkan
secara TOTALITAS pada-Nya. Biarlah Allah Yang Merencanakannya untuk saya.
Dia-lah Sebaik-baik Perencana. La tahzan innallaha ma ana.
Akan tetapi, mimpi itu tak bisa
dilenyapkan begitu saja. Dia sudah terlanjur tumbuh sejak kecil…di sini…di
hati. Sekuat apa pun kita melupakannya atau tidak ingin memikirkannya, dia
sendiri yang selalu menyapa dan mengingatkan kita. Dan kita, walau
bagaimanapun, susah menghindarinya.
Saya berusaha menghibur diri saya
sendiri. Kadang-kadang saya suka memvisualisasikan keadaan di sekitar seperti
seolah-olah di Jepang. Di Malang, saat musim kemarau, dedauan dari pohon-pohon
di sepanjang jalanan kampus berguguran. Cantiiiiiiiiiik sekali! Saya anggap itu musim gugur di Jepang haha.
Ketika musim hujan dan pas nggak bawa payung, nekad jalan keluar. Saya anggap
itu salju turun dari langit hehe. Banyak hal-hal kecil yang saya
hubung-hubungkan dengan Jepang. Ditambah lagi teman-teman saya kalau manggil
pake ‘chan’. Lengkap sudah! Jadi saya tak perlu lagi ke Jepang sebab saya sudah
merasa di Jepang :D.
Ketika saya di Brunei, ada
beberapa murid yang sudah pernah menginjakkan kakinya di Jepang. Macam jealous lah, tapi sikit je. Ada teman
sekerja yang juga sudah pernah ke sana. Seringkali, pas nonton berita nasional,
orang Jepang dan segala kegiatannya muncul di TV. Kawan se-flat yang punya
satellite, akan berteriak-teriak kalau ada liputan khusus tentang Jepang. Saya
pun tak bosan-bosannya mendengar siaran radio online NHK. Dan ternyata eh
ternyata my lady boss dulu juga demen ama Jepang. Uh, what such a small world. Satu lagi scene yang paling keren. Di saat lampu
merah menyala, mobil yang saya tumpangi bersebelahan dengan mobil duta besar Jepang.
Dari kaca nampak ibu dan bapak duta besar duduk bersebelahan di belakang supir,
seperti juga saya. What a feeling. She looked the lady Oshin. Elegant. Her
smile is unforgettable.
Sejujurnya, saya tak pernah
meminta dalam doa-doa saya agar saya dimudahkan jalan untuk pergi ke Jepang.
Mengapa? Sebab saya malu. Impian ke Jepang nampak jelas sekali keduniawiannya
dibanding kerohaniannya. Setidak-tidaknya, jika saya bersih keras pergi ke
Jepang, saya harus memiliki alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Dan saya
pikir dan renungkan masih banyak hal yang harus saya perbuat dan prioritaskan
sebelum Jepang. Saya diajarkan oleh guru-guru saya untuk bijak dalam
menempatkan sesuatu, bahkan dalam doa sekalipun. Nafsu manusia tidak akan
pernah berhenti kecuali dia sudah meninggal dunia. Saya sudah sangat bersyukur
saya bisa menikmati hidup serasa di Jepang di manapun saya berada kapan pun
saya mau. Saya menghidupi mimpi saya dengan cara yang berbeda. I live in my dream in a different way.
The surprise was getting to
approach….
Ketika saya singgah di rumah
kenalan di Singapore Desember tahun lepas, bukan kebetulan, orang tua kenalan
saya itu akan berangkat ke Jepang sore itu untuk liburan. Setiap kali saya
mendengar orang yang sedang akan atau telah ke Jepang, saya begitu gembira,
mungkin bisa jadi lebih gembira dibandingkan mereka yang mengalaminya. Saya
pelajari itinerary-nya dengan mata melotot haha. Salah satu destinasi mereka
adalah kaki gunung Fujiyama_san (sebab pada musim dingin pengunjung dilarang
naik gunung Fuji). Iseng-iseng, saya tanya berapa ongkosnya. Ouou….kalau
dikurskan bisa setara dengan biaya umroh ekslusif versi Jombang-Jawa Timur-
Indonesia haha. Saya tak begitu heran dengan nominal yang disebutkan sebab gaya
wisata orang Brunei dan Singapore kurang lebih sama dan itu sama sekali tidak
cocok dengan saya : ) Selain itu, saya sudah kapok ikut tur, sudah mahal
diatur-atur lagi hehe. Saya ingin perjalanan yang bebas dan penuh kejutan. Dan
itu cuma bisa terwujud dengan cara backpacking.
Going home….Tadaimaaaaaaaaaaa.
Rindu kampong halaman tak seberapa
dibandingkan orang-orangnya. Kegiatan harian dan mingguan saya dipadatkan
dengan acara silaturahim kesana-kemari. Saudara mara dan handai tolan juga
datang silih berganti menebar senyum dan berbagi cerita di rumah. Saya pun
sudah merencanakan mengunjungi kawan di luar pulau. Acara tersusun dengan rapi
meski minim persiapan.
Tiba-tiba, pada suatu pagi
beranjak siang hari, teman kecil saya kirim pesan lewat LINE memberitahu dia
akan terbang ke Bontang sore itu. Whaaaaaaaaaaat?
Bontaaaaaaaaaaaaang? That’s my dream land
in Borneo. Tak tahu kenapa waktu kuliah dulu ingin sekali mengajar di sana,
tapi nggak kesampaian. Jika saja, saya tahu lebih awal saya mau sekali ikut
kawan saya itu ke Bontang. Kawan saya mencoba berbaik hati pada saya dan
mengajak travelling ke tempat lain setelah kunjungannya di Bontang. Saya
langsung terhibur dan menantang dengan GURAUAN, “Ya udah yuk ke Jepang! Mau?!”
Eh, dia langsung pening kepala :D.
To Be
Continued….
What’s
next?
Melalui teman saya itulah, saya dipertemukan dengan seorang
penulis dan juga low-budget traveler kelas dunia dan saya pun memulai
perjalanan menjemput takdir saya ke Jepang.
Nantikan di episode selanjutnya, hehe (maaf jari-jari saya
kemeng semua dan mata saya sudah mau tutup jendela ^_^)
Note:
*Irrasshaimase artinya Selamat Datang. Dulu saya pernah
bermimpi mendengar kalimat itu langsung dari mulut orang Jepang di Jepang.
Fullhouse, 26 January 2014
12:10 AM
No comments:
Post a Comment