Sunday, January 26, 2014

Pursuit of Childhood Dream Part 2



Tita, panggilan akrabnya, tak sepakat dengan ide spontan saya itu – Yuk, ke Jepang!? Saya pun dah biasa mengalami penolakan. Santai saja. Meski saya dibujuk mengubah destinasi,  saya tetap tidak tertarik pergi ke tempat lain (kecuali memang ada kepentingan, silaturahim misalnya).

Lalu, Tita berbagi informasi kalau temannya pernah melakukan trip ke Jepang bersama seorang penulis dan followers-nya. Dan bla bla bla….ujung-ujungnya temannya Tita bilang pendaftaran sudah ditutup! Gedubrakkkkkkkk! Pyaaaaaaaaaaaaar!

Saya rasakan otak saya menyimpan keingintahuan yang luar biasa dan jiwa menumpahkan semangat yang menggebu-nggebu. Pada hari yang sama, saya langsunggoogling penulis yang dimaksud itu dan mempelajari profil dan background kehidupannya. Keraguan sirna…. rasa percaya diri pun memancar.

Saya berlari sambil memanggil ibu, my heroin. Restu dan doanya adalah satu-satunya kunci yang bisa membuka segala ‘pintu’. Hanya dengan beliau, saya bisa bebas bermanja-manja dan merengek-rengek. Ya, saya akui saya ‘Anak Mama’. Hanya ibu lah yang sampai detik ini mampu membuat saya teguh menjadi diri sendiri. Ibu saya terlalu unik untuk digambarkan. Beliau kadang-kadang seperti ibunya San Chai (film Meteor Garden), ibunya Maruko (film Chibi Maruko Chan) dan ibunya Tomoko (film Friends). Saya ini bisa jadi gabungan dari San Chai, Maruko dan  Tomoko haha :D lebayyyy!

Saya tatap mata ibu dalam-dalam dan mengutarakan maksud dan rencana perjalanan secara singkat tapi jelas. Saya sebenarnya tidak tega mengatakannya sebab saya baru saja pulang dan tiba-tiba ingin pergi ke luar negeri lagi. Akan tetapi, ada dorongan yang begitu kuat memberanikan saya. Dan ibu hanya terdiam dan menggantung jawabannya.

Sebaiknya saya memang memberi waktu ibu untuk berpikir. Saya bisa maklumi betapa kuatirnya ibu melepas saya pergi. Namun, saya tidak boleh hanya berdiam diri menunggu hujan meteor turun dari langit (hoho hiperbola apa hubungannya dengan meteor jatuh). Sesegera mungkin setelah itu, saya kirim email pada penulis itu. Sehari, dua hari sampai tiga hari tidak ada balasan dan jumlah email yang saya kirim sudah mencapai angka tujuh.

Mungkin email saya agak annoying bagi orang yang kerjaannya buka mailbox. Sebab email saya selalu datang setiap hari dengan isi yang berbeda tapi dengan niat yang sama.  Man Jadda wa Jadda. Email saya direspon! Dan prosedur A-Z pun dimulai. Alhamdulillah.

Pada waktu yang hampir bersamaan, ibu pun akhirnya luluh tapi dengan syarat. Saya boleh pergi asalkan ada kawan yang dikenal. Terpaksa harus putar otak. Masalahnya ini tidak seperti ngajak teman main ke Jakarta, Surabaya atau Malang tapi ke Jepang. Siapa gerangan yang mau dan juga siap? Tingggggggg! Lampu hijau menyala! Rani, teman sama-sama gila Jepang tapi dia juga gila Korea (nggak tau mana yang dia gila-gilain o_O Aduuuuuh bahasa saya kayak tahu campur T_T).

Setelah proses talik ulur, negosiasi dan tukar pikiran, dia mau. Ploooooooooong! Alhamdulillah, ada teman. Ibu pun ikut lega apalagi Rani dan ibu sudah sangat kenal satu sama lain. Dan kami sejak kecil memang bermimpi pergi ke Jepang sama-sama. Satu masalah teratasi.

Sehari, dua hari berlalu. Rani kok sepi-sepi saja. Nggak ada bising-bisingnya. Setidaknya dia tanya ini itu. Perasaan saya ganjil. Saya WA dia, sms dia dan telepon dia. Dan ternyata dia nggak jadi ikut. Pyaaaaaaaaaaaaaaaaar! Piring setinggi gunung Bromo berguguran.

Ingin sekali saya menangis tapi air mata saya terlalu berharga. Saya mencoba duduk tenang dan merenung. Kecewa? Mh, well I just used to face that kind of thing. It’s a piece of cake. I told myself entertaining….Saya tak boleh jadi pengecut. Bukankah saya sendiri yang memulainya. Jadi tidak ada hak orang lain yang bisa mengakhirinya kecuali saya sendiri yang menyerah. Dan keputusan saya adalah tetap melangkah ke depan. Saya masih ingat kalimat penyemangat itu. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu mengubah nasibnya sendiri.

Dengan penuh hormat, saya terima keputusan Rani dan kembali pada ibu untuk meyakinkan beliau. Tentu saja ibu jadi sedih. Ouou….Saya pun akhirnya berdalil kisah-kisah perjalanan saya tiga tahun terakhir tanpa seorang pun yang saya kenal dan terbukti saya berhasil atas Rahmat Allah dan doa ibu.

Ibu terus berpikir. Oh, kasihan beliau. Saya pun tak henti-hentinya bercerita, lebih tepatnya beralasan untuk memperkuat pentingnya perjalanan saya yang satu ini hehe (kedengarannya mekso bangets).

Dalam proses meluluhkan hati ibu, saya sudah melakukan ¼ proses menuju ke Jepang. Saya tahu sebenarnya ibu mengijinkan karena sepuluh tahun yang lalu beliau sudah memberi restu dan doanya pada impian saya ke Negeri Sakura. Mungkin beliau menunggu saya berubah pikiran dan saya rasa itu agak mustahil kecuali Allah berkehendak lain. 

To Be Continued ….

  

What's next?
 

Saya sudah dua kali datang ke Konsulat Jenderal Jepang untuk pengajuan visa (yang ternyata memiliki persyaratan yang bermacam-macam).
Seperti permainan monopoly, saya kena kartu ‘Anda Belum Beruntung’, Pengajuan visa saya belum bisa diterima alias ditolak. Kyaaaaaa. Hiks hiks hiks.

Fullhouse, 26 January 2014
11._ _ PM

Saturday, January 25, 2014

Pursuit of Childhood Dream



Pursuit of Childhood Dream
“Ninga_chan, irrasshaimase!”*

When you feel all alone in this world
And there’s nobody to count your tears
Just remember, no matter where you are
Allah Knows Allah Knows
When you’re carrying a monster load
And you wonder how far you can go
With every step on that road that you take
Allah Knows Allah Knows
No matter what inside or out
There’s ONE thing of which there’s NO doubt
Allah Knows Allah Knows
And whatever lies in the heavens and the earth
Every star in the whole universe
Allah Knows Allah Knows
(quoted from the first lyrics of ‘Allah Knows’ by Zain Bikha)

Petikan lagu di atas adalah ‘soundtrack’ tulisan kali ini. Dia hadir bahkan jauh sebelum penulis memiliki ide dan niat menulis (ini), ketika sedang dan akhirnya dia akan senantiasa hadir di hati penulis. Is there anyone who has any doubts of the message (of the song)? If yes, well I’m so sorry to hear that. 

Apakah Anda punya mimpi? Bukan mimpi ketika tidur, lho ya. Mhmh….ya mimpi! Bisa dinamakan juga harapan, angan-angan, cita-cita  atau ambisi. Bagi saya sendiri,  saya lebih suka memanggilnya ‘mimpi’. Kedengarannya memang agak melancholic/childish dan sepertinya susah untuk diwujudkan atau bahkan hampir mustahil. Akan tetapi, sepatah kata itu terdengar begitu besar di telinga saya. Dan dia pun bisa membuat saya ‘kuat’ dan pantang menyerah. “Saya mempunyai mimpi.” Keren kan?!  “I have a dream” Doesn’t it sound great? Atau versi bahasa lainnya, “Watashi wa yume ga arimasu.” Sugoiiiiiiiiiiii! 

Btw, ngomong-ngomong soal mimpi, saya ada cerita. Waktu kuliah dulu saya sempat menghadiri talk show seorang penulis sekaligus traveler Eropa di puskot Malang. Di akhir cerita, yang hadir dipersilakan speak-up untuk berpendapat atau bertanya. Pembicara yang paling menarik akan diberi hadiah buku karangan penulis. Saat itu, saya kepedean dan memberanikan diri ngomong soal ‘mimpi’ dan menanyakan peranannya dalam kehidupan penulis yang bersangkutan. Dan waktunya pemberian hadiaaaaaaaaaah….taraaaaaaaaaa tet tet tet teret tet tet :D akhirnya buku gratis itu sampai juga ke tangan saya dan langsung saya terima dari penulisnya. Penulisnya memilih saya karena tertarik dengan uraian saya tentang mimpi. Siapakah nama penulis itu? Beliau adalah Sigit Susanto. Dan buku yang beliau berikan saat itu ialah berjudul ‘Menyusuri Lorong-Lorong Dunia Jilid 2’.

 Sebagian besar yang ada di list impian saya terinspirasi dari kejadian-kejadian remeh-temeh ketika kecil dulu. Namun, saat keinginan itu muncul di usia dewasa dengan akal yang Alhamdulillah sehat, saya tak lagi menamakannya ‘mimpi’ melainkan ‘ambitions’ whohohoho…. (Mungkin ada di antara Anda yang mengganggap kata ‘ambition’ terlalu berlebihan dan mengandung hal yang negatif. Saya sarankan, “Be open-minded!” sebab ketika saya meminta murid-murid saya menulis karangan bertajuk ‘My Ambition’, the result is unexpectedly amazing! The Power of Words - bukan The Power of Swords hehe)

Dan Alangkah indahnya, ketika mimpi dan ambisi ditakdirkan bertemu. Seperti laki-laki dan perempuan yang berjodoh…..so beautiful! Waduh kok jadi mblarah topiknya haha sorry. Gomen ne. 

Allright!  Back to the dreams.

Everyone has a dream(s). Absolutely! Kalau tidak, berarti dia ‘mati’. Saya tak perlu menjelaskan panjang lebar mengapa saya berani berpendapat seperti itu. Bayangkan saja jika Anda sendiri hidup (sekarang) tanpa mimpi. Bisa? Oh, bisa ya?! Kata orang yang seide dengan saya berarti Anda termasuk mayat hidup. Hidup tapi tanpa semangat hidup. Atau peribahasanya ‘Hidup Segan Mati Tak Mau’. Seorang buruh tani dan tukang becak, tetangga saya, saja punya mimpi, tentu akan sangat memalukan generasi yang berpendidikan justru malas bahkan hanya sekedar untuk bermimpi.  

Sebelum saya teruskan tulisan saya ini, saya ingin mengklarifikasi bahwa saya tak bermaksud ‘crowing’ atau membangga-banggakan diri atas apa yang telah mampu saya lakukan sampai saat ini. Ada beberapa alasan saya memutuskan menulis. Pertama, tulisan ini adalah wujud syukur saya pada Allah SWT. Tiada seorang pun makhlukdi dunia ini termasuk kita sendiri yang bisa mengenali dan memahami siapa diri kita sebenarnya. Dia Hanya Satu – La ilaha illallah. Kedua, saya hendak mengabadikan nama seseorang yang ‘special’ dalam tulisan yang akan Anda tahu kemudian. Ketiga, permintaan sahabat kecil dan seniorita tercinta untuk menuliskan kisah perjalanan yang tak terduga ini. Keempat sekaligus terakhir, saya ingin berbagi pengalaman  dan rasa kepada semua orang yang mempunyai mimpi dan setia pada-Nya. Dan juga pada orang-orang yang memandang sinis dan meremehkan mimpi-mimpi saya, walaupun mereka agak menyebalkan wakakaka :D tapi secara pribadi sangat memotivasi saya dengan cara yang unik. 

Dari sini Anda sudah tahu mengapa note ini ditulis. Apabila Anda tidak setuju dengan dasar penulisannya, Anda bisa berhenti membaca mulai dari sekarang hwehehe (serius amat sich!)

Moving on…

Sudah pernah saya tulis di note-note sebelumnya bahwasannya saya memang pengen bangeeeeeeeeeeets ke Jepang. Pernyataan itu terlontar langsung dari mulut  ketika saya masih duduk di bangku SD. Kayaknya saya kesemsem sama Satria Baja Hitam dan Ultra Man atau nggak jauh-jauh Doraemon dech haiyaaaaaa. Kegilaan saya (tapi nggak gila beneran lho ya) semakin memancarkan sinarnya ketika SMA. Saya tak akan membahasnya lagi di sini. Sila merujuk di note-note saya sebelumnya jika tertarik : )

Setelah semua ikhtiar saya gagal, saya jadi tahu diri hiks hiks. Dengan penuh kesadaran total, saya putuskan berhenti MENGEJAR mimpi. Saking sedihnya, saya nangis semalaman kemudian tidur. Selesai. Game Over. Sesimpel itu ternyata. Karena menyerah tak memerlukan perjuangan. Kalau pengorbanan sich iya, pengorbanan batin alias sakit hati hehe. 

Selepas itu, saya tak lagi merencanakan apa pun. Saya ingin mimpi saya…. jika memang dia menjadi takdir saya biarlah dia datang secara alami, tak payah dipaksa-paksakan. Saya serahkan secara TOTALITAS pada-Nya. Biarlah Allah Yang Merencanakannya untuk saya. Dia-lah Sebaik-baik Perencana. La tahzan innallaha ma ana. 

Akan tetapi, mimpi itu tak bisa dilenyapkan begitu saja. Dia sudah terlanjur tumbuh sejak kecil…di sini…di hati. Sekuat apa pun kita melupakannya atau tidak ingin memikirkannya, dia sendiri yang selalu menyapa dan mengingatkan kita. Dan kita, walau bagaimanapun, susah menghindarinya. 

Saya berusaha menghibur diri saya sendiri. Kadang-kadang saya suka memvisualisasikan keadaan di sekitar seperti seolah-olah di Jepang. Di Malang, saat musim kemarau, dedauan dari pohon-pohon di sepanjang jalanan kampus berguguran. Cantiiiiiiiiiik sekali!  Saya anggap itu musim gugur di Jepang haha. Ketika musim hujan dan pas nggak bawa payung, nekad jalan keluar. Saya anggap itu salju turun dari langit hehe. Banyak hal-hal kecil yang saya hubung-hubungkan dengan Jepang. Ditambah lagi teman-teman saya kalau manggil pake ‘chan’. Lengkap sudah! Jadi saya tak perlu lagi ke Jepang sebab saya sudah merasa di Jepang :D.  

Ketika saya di Brunei, ada beberapa murid yang sudah pernah menginjakkan kakinya di Jepang. Macam jealous lah, tapi sikit je. Ada teman sekerja yang juga sudah pernah ke sana. Seringkali, pas nonton berita nasional, orang Jepang dan segala kegiatannya muncul di TV. Kawan se-flat yang punya satellite, akan berteriak-teriak kalau ada liputan khusus tentang Jepang. Saya pun tak bosan-bosannya mendengar siaran radio online NHK. Dan ternyata eh ternyata my lady boss  dulu juga demen ama Jepang. Uh, what such a small world. Satu lagi scene yang paling keren. Di saat lampu merah menyala, mobil yang saya tumpangi bersebelahan dengan mobil duta besar Jepang. Dari kaca nampak ibu dan bapak duta besar duduk bersebelahan di belakang supir, seperti juga saya. What a feeling. She looked the lady Oshin. Elegant. Her smile is unforgettable. 

Sejujurnya, saya tak pernah meminta dalam doa-doa saya agar saya dimudahkan jalan untuk pergi ke Jepang. Mengapa? Sebab saya malu. Impian ke Jepang nampak jelas sekali keduniawiannya dibanding kerohaniannya. Setidak-tidaknya, jika saya bersih keras pergi ke Jepang, saya harus memiliki alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Dan saya pikir dan renungkan masih banyak hal yang harus saya perbuat dan prioritaskan sebelum Jepang. Saya diajarkan oleh guru-guru saya untuk bijak dalam menempatkan sesuatu, bahkan dalam doa sekalipun. Nafsu manusia tidak akan pernah berhenti kecuali dia sudah meninggal dunia. Saya sudah sangat bersyukur saya bisa menikmati hidup serasa di Jepang di manapun saya berada kapan pun saya mau. Saya menghidupi mimpi saya dengan cara yang berbeda. I live in my dream in a different way. 

The surprise was getting to approach….

Ketika saya singgah di rumah kenalan di Singapore Desember tahun lepas, bukan kebetulan, orang tua kenalan saya itu akan berangkat ke Jepang sore itu untuk liburan. Setiap kali saya mendengar orang yang sedang akan atau telah ke Jepang, saya begitu gembira, mungkin bisa jadi lebih gembira dibandingkan mereka yang mengalaminya. Saya pelajari itinerary-nya dengan mata melotot haha. Salah satu destinasi mereka adalah kaki gunung Fujiyama_san (sebab pada musim dingin pengunjung dilarang naik gunung Fuji). Iseng-iseng, saya tanya berapa ongkosnya. Ouou….kalau dikurskan bisa setara dengan biaya umroh ekslusif versi Jombang-Jawa Timur- Indonesia haha. Saya tak begitu heran dengan nominal yang disebutkan sebab gaya wisata orang Brunei dan Singapore kurang lebih sama dan itu sama sekali tidak cocok dengan saya : ) Selain itu, saya sudah kapok ikut tur, sudah mahal diatur-atur lagi hehe. Saya ingin perjalanan yang bebas dan penuh kejutan. Dan itu cuma bisa terwujud dengan cara backpacking. 

Going home….Tadaimaaaaaaaaaaa.

 Rindu kampong halaman tak seberapa dibandingkan orang-orangnya. Kegiatan harian dan mingguan saya dipadatkan dengan acara silaturahim kesana-kemari. Saudara mara dan handai tolan juga datang silih berganti menebar senyum dan berbagi cerita di rumah. Saya pun sudah merencanakan mengunjungi kawan di luar pulau. Acara tersusun dengan rapi meski minim persiapan.

Tiba-tiba, pada suatu pagi beranjak siang hari, teman kecil saya kirim pesan lewat LINE memberitahu dia akan terbang ke Bontang sore itu. Whaaaaaaaaaaat? Bontaaaaaaaaaaaaang? That’s my dream land in Borneo. Tak tahu kenapa waktu kuliah dulu ingin sekali mengajar di sana, tapi nggak kesampaian. Jika saja, saya tahu lebih awal saya mau sekali ikut kawan saya itu ke Bontang. Kawan saya mencoba berbaik hati pada saya dan mengajak travelling ke tempat lain setelah kunjungannya di Bontang. Saya langsung terhibur dan menantang dengan GURAUAN, “Ya udah yuk ke Jepang! Mau?!” Eh, dia langsung pening kepala :D.


To Be Continued….


What’s next?
Melalui teman saya itulah, saya dipertemukan dengan seorang penulis dan juga low-budget traveler kelas dunia dan saya pun memulai perjalanan menjemput takdir saya ke Jepang.
Nantikan di episode selanjutnya, hehe (maaf jari-jari saya kemeng semua dan mata saya sudah mau tutup jendela ^_^)

Note:
*Irrasshaimase artinya Selamat Datang. Dulu saya pernah bermimpi mendengar kalimat itu langsung dari mulut orang Jepang di Jepang. 

Fullhouse, 26 January 2014
12:10 AM