Sunday, May 25, 2014

Siapakah Dia?



Siapa kah Dia?

Walaupun beliau sering datang hampir di akhir waktu, kehadirannya selalu saya nantikan. Indah suaranya senantiasa saya rindukan. Begitu beliau membuka pintu geser, mata saya melirik (spontan sebab saya biasanya duduk bersila di sekitar pintu) memastikan siapa yang datang. Hati berbunga, senyum bibir pun merekah. Sosoknya yang khas, tak menghendaki saya harus memutar badan serta kepala dan menatapnya. Gaya berjalannya yang tegap, santun tapi santai, cukup meyakinkan saya bahwa itulah beliau - He's coming!!!

Hati gembira tak terkira, berdebar-debar menantikan terbukanya suara....

Bukan setiap Ahad beliau datang. Kehadirannya sungguh tak terduga, tapi selalu menyenangkan. Dan meskipun saya tidak bisa memahami bahasa beliau (bahasa Arab), saya tidak pernah tidak menikmati dan menyelami setiap kalimat yang beliau sampaikan (mendengar beliau berbicara, rasa-rasanya bahasa Arab menjadi mudah hehe). Kadang saya tersenyum sendiri ketika saya mampu memahami potongan cerita lucu beliau tanpa bantuan penerjemah (yang mengalihbahasakan ceramah - kalimat per kalimat- setiap beliau selesai bercakap). Kadang teman akrab saya ngejek, “Emang kamu paham, Chan?” Hehe it’s so-called ‘the Power of Love. Bahasa Arab itu ekspresif (dalam penyampaiannya) sesuai dengan karakter saya. Dari situlah saya bisa memahami makna bahasa beliau. Ditambah lagi, saya suka mendengarnya (orang yang menyampaikan dan apa yang disampaikan) jadi lebih mudah hihihi. Belajar menjadi lebih menyenangkan dan cepat paham apabila dilandasi rasa suka :D

Minggu kemarin beiau tak datang dan minggu ini tak ada majlis. Hidup terasa sunyi dan hati menjadi kesepian lebaaaaaaaaay. Saya mencoba mengingat kembali pertemuan-pertemuan di minggu-minggu sebelumnya (tak seperti di zaman kampus dulu, biasanya ceramah kajian Islam ustadz Abdullah saya catat di sebuah notebook khusus. Di sini, hanya mendengar dan entah sampai bila masa ingatan itu akan bertahan).

Pada suatu Ahad pagi di bulan Zulhijjah 1434H, di depan jamaah ibu-ibu dan bapak-bapak serta anak-anak, di sebuah ruang tamu yang bisa menampung 30-40 orang, beliau dengan suara 'kebapakan'nya menyampaikan dua buah cerita (non-fiksi/kisah nyata). Yang pertama adalah tentang kegigihan seorang anak yang berjuang memenuhi perintah ibunya untuk menimba ilmu di negeri yang jauh dari kampung halamannya. Alhamdulillah, saya bisa memahami keseluruhan cerita. Namun apabila saya diminta menceritakan kembali kisah itu, saya harus merujuk referensi terlebih dahulu sebab ada beberapa perkataan yang menggunakan bahasa Arab (tidak diterjemahkan secara khusus - original) yang saya khuatirkan saya akan melakukan kesalahan besar terhadapnya jika saya hanya menuliskannya dengan sekedarnya.

Karena itu di sini saya hendak berbagi kisah kedua yang tak kalah berkesannya di hati saya.

Mari kita mulai sekarang.

Di sebuah negeri hiduplah seorang anak laki-laki (usia menginjak remaja 10-12 tahun) dan ibunya yang sholehah. Pada suatu hari ibunya meminta sang anak agar merantau di negeri lain yang jauh untuk menuntut ilmu. Perintah itu mengharuskan sang anak melakukan perjalanan yang sangat melelahkan dan memakan waktu yang lama serta menguras perasaan sebab dia harus rela berpisah dengan orang yang paling dicintainya. Bagaimanapun, sang anak pun pergi memenuhi amanah ibunya.

Sesampai di kediaman gurunya, sang anak pun disambut dengan baik. Hari demi hari, bulan demi bulan, sang anak mampu menunjukkan peningkatan ilmunya di mata sang guru. Tak segan-segan, sang guru memujinya di depan putrinya sendiri.

Sang putri pun menjadi penasaran dengan murid laki-laki itu. Dimintanya sang ayah (sang guru) untuk mengundang sang murid supaya datang ke rumah. Tanpa menolak, sang murid pun memenuhi undangan sang guru.

Dengan kehadiran sang murid di rumah, sang putri ingin membuktikan apakah pujian-pujian sang ayah untuk sang murid benar adanya. Akhirnya, satu-per satu kenyataan diri sang murid pun 'terbongkar' - terpaparkan jelas di mata dan telinga sang putri.

Seperti biasa, sang guru pasti menjamu setiap tamu yang datang ke rumahnya, tidak terkecuali sang murid. Begitu melihat banyaknya makanan dan keanekaragamannya, sang murid pun tak kuasa menahan nafsunya dan makan sesuka hatinya. Sang putri melihatnya dan tidak percaya bahwa sang murid makannya buuuuanyak sekali!

Ketika malam tiba, tak terdengar aktivitas sang murid mengambil wudhu dan shalat malam (tahajud). Sang putri semakin kehilangan kepercayaan terhadap sang murid. Biarpun begitu, ia tetap membiarkannya dan tak meng-komplainnya pada sang ayah.

Keesokan paginya, ketika adzan subuh berkumandang, sang putri mengetuk kamar sang murid untuk membangunkannya. Diketuklah pintu sehingga sang murid terbangun dan langsung melaksanakan ibadah shalat subuhnya tanpa berwudhu.

Sang putri tak kuasa menahan kekecewaan pada sang murid lalu menghampiri ayahnya dan menceritakan (melaporkan/complain) segala hal yang ia nampak langsung dari perbuatan sang murid. Pertama, sang murid mempunyai nafsu makan yang sangat besar padahal sepatutnya seorang penuntut ilmu itu makannya sedikit saja dan tidak sampai kenyang. Kedua, sang murid tidak menjalankan anjuran shalat malam padahal seharusnya seorang murid yang alim dan sholeh pasti melakukannya. Dan yang terakhir, ketiga, murid tidur hingga adzan subuh berkumandang dan melaksanakan shalat tanpa mengambil air wudhu.

Mendengar semua laporan sang putri tercintanya, sang guru tidak sanggup percaya sehinggalah dia memanggil sang murid untuk mengklarifikasi dan mencari (mendapat) kebenaran.

Didatangkanlah sang murid untuk menghadap sang guru. Dibeberkan semua perkara yang sang murid telah perbuat berdasarkan laporan sang putri.

Sang guru pun bertanya, "Apakah benar kamu telah melakukan yang sedemikian itu?"

Sang murid menjawab. "Iya, benar. Saya telah melakukan yang sedemikian. "

Sang guru tidak langsung merasa kecewa dan menghakimi sang murid. Akan tetapi, sang guru bertanya lagi, "Mengapa kamu melakukannya? Bisakah kamu menjelaskannya?"

Sang murid dengan jujur dan tulus menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya pada hari itu.

"Berita itu benar bahwa saya makan banyak hingga kenyang. Sungguh, semenjak ibu saya menyuruh saya berhijrah hingga saya dijamu dengan makanan yang lezat di rumah guru, selama itu saya senantiasa menahan lapar, hanya makan dan minum sedikit sekali. Dalam perjalanan yang panjang itu, saya tidak tahu apakah yang bisa dimakan dan diminum itu halal atau tidak. Karena itu saya memutuskan untuk menahan lapar hingga saya makan banyak sampai kenyang di rumah guru. Saya yakin semua jamuan itu adalah halal sehingga saya makan dengan tenang dan kenyang. Saat itulah saya benar-benar merasakan makan dan minum.
Kemudian perkara apakah saya tidak melaksanakan shalat malam dan mengambil wudhu untuk shalat subuh, itu pun benar dan saya juga memiliki alasan mengapa demikian. Pada malam itu, saya sebenarnya tidak tidur hingga datang waktu subuh. Dan selama itu saya menjaga wudhu saya sehingga saya tak perlukan wudhu untuk shalat subuh."

Sang guru bertanya lagi, "Apa yang kamu lakukan sehingga kamu tidak tidur?"

Sang murid menjabarkan dengan panjang lebar* apa yang dia kerjakan semalam suntuk hingga subuh malam itu. Sang murid sedang mengkaji sebuah hadits yang dia menemukan ada satu/dua kata* dari potongan hadits itu yang mengandungi ilmu yang teramat luar biasa. Sang murid merenungi dan mencari jawaban atas satu/dua kata tersebut semalam suntuk hingga subuh.

Sang murid pun menjelaskan.

"Saya tahu bahwa shalat malam adalah ibadah sunnah yang sangat dianjurkan (diutamakan). Tapi, itu adalah sunnah sedangkan mengkaji ilmu adalah wajib. Sehingga saya dahulukan yang wajib dari pada yang sunnah. Karenanya, saya tidak melaksanakan ibadah sunnah shalat tahajud malam itu. Dan sebagai gantinya, saya telah menemukan jawaban atas satu/dua kata dari potongan hadits tersebut."

Itulah kisah kedua yang diceritakan oleh beliau dengan penuh hikmah. Beliau, Sheikh Muthi'i, seorang guru dari Suriah, mengakhiri kisah tadi dengan sebuah pertanyaan untuk kami semua, pendengarnya, para jama'ah.

"Apakah anda tahu siapakah sebenarnya sang murid itu?"

Para jama'ah terdiam, tertunduk, entah malu atau ngantuk.

Sheikh Muthi'i lalu menjawab sendiri pertanyaan itu (sebab tak ada yang mampu menjawab).

"Dialah Imam Syafi'i.
Kadang kala kita ditanya, ikut madzab siapa? madzab Syafi'i. Tapi, sadarkah kita dengan jawaban kita itu? Apakah kita benar-benar mengenal siapa dia Imam Syafi'i dan apakah kita juga mengikuti bagaimana beliau menuntut dan mengkaji ilmu? ............................................................................................................................................(terdiam cukup lama) Itu sebagai renungan anda semua yang hadir di sini. Dan anda sendiri lah yang tahu jawabannya."

Ceramah pagi itu berlangsung lebih lama daripada biasanya. Seperti biasa, majlis dzikir dan ilmu diakhiri dengan shalat dhuha. Kami semua pun berangkat umrah berjama'ah :D 


Wallahu'alam. 

Semoga kita semua senantiasa ditunjukkan jalan yang diridhoi-Nya. Aamiiin.   






Note

*Saya tak bisa menjelaskannya secara terperinci dan kurang begitu yakin (ragu).
 







Monday, February 3, 2014

Pursuit of Childhood Dream (Ending but Not Last)



Senin siang itu, untuk keempat kalinya saya datang lagi.

Sepiiii….

Tenang….

Saya sudah pasrah. Saya serahkan segala sesuatunya pada Yang Maha Kuasa. Zero. Nol maksudnya penyerahan diri sepenuhnya.

Tak lama setelah itu. Senyum terindah terukir tanpa ada sesiapa  pun yang memandangnya kecuali Yang Menciptakannya.

Terkadang, sesuatu besar yang benar-benar nyata sukar dipercayai. Padahal ia di depan mata.

Tampilan visa Jepang nampak keren sekali dibandingkan visa yang dulu pernah nyetem di paspor. Perasaan saya lega Alhamdulillah padahal saya baru dapat visanya SAJA, belum tiket, perlengkapan musim dingin dan lain sebagainya. Haha sepertinya saya sudah terbang ke Jepang.

Saya tak lekas pulang siang itu karena tiket KA (Arjuna Express) untuk balik rumah sengaja saya pilih yang malam buat jaga-jaga. Cuaca Surabaya sungguh bersahabat. Tidak panas dan juga tidak hujan. Dengan santai, saya duduk di bawah pohon depan Konjen.

Teringat ibu. Beliau lah satu-satunya orang yang paling mengharapkan keberhasilan pengajuan visa ini. Dan ibu lah orang pertama yang saya hubungi. Saya yakin hanya ibu lah yang paling bahagia mendengar berita itu.

Tinggal empat hari lagi.

Perjuangan ke Jepang dilanjutkan. Cari ini cari itu. Pinjam ini pinjam itu. Minta tolong ini minta tolong itu.

Saya sempat mendapat masalah dengan ATM. Curhatan saya terbangkan melalui pesan pendek WA ke Jakarta, meminta bantuan. Dan Allah memberi kemudahan setelah kesulitan. Dengan pertolongan-Nya, temannya Rani ikut membantu saya, padahal kenal juga nggak. Tapi saya mempercayainya dan dia juga mempercayai saya. This is the power of faith dan dreams.

Thanks to Rani and Mas Yuda.

Ibu marah sekali ketika mendengar ocehan ngawur saya, “Saya mau pake jubah aja lah. Gitu aja kok repot haha.”

Saya tidak ada celana panjang yang pas untuk luar (yang panjangnya sepanjang kaki saya hehe). Sudah saya coba obrak-abrik almari baju saudara laki-laki saya, nihil! Lalu adik laki-laki saya memberikan celan jinsnya yang katanya sudah tidak muat lagi di perutnya. Saya coba eh kok pas haha. Tapi saya tak nak lah mirip laki-laki.

Lagi-lagi, ibu ‘nggupuhi’ sekali soal baju yang akan saya kenakan. Beliau ‘mewajibkan’ saya pake celana! Walau ibu sudah saya kasih tahu, “Ibu, saya pernah pake rok dan juga jubah ke bukit dan gunung. Nggak apa-apa kok. Tenang aja.”

Apa boleh buat, atas paksaan ibu yang sangat ‘khawatir’ dengan ‘pergerakan’ saya, pergilah saya ke toko yang jualan celana panjang :D.

Sampai malam hari terakhir persiapan, perlengkapan saya belum juga lengkap. Dan saya tidak tidur sampai dini hari menata koper kecil dan tas tangan. Kenapa saya tidak tidur? Saya memang sengaja tidak memesan bagasi. Jadi saya memeras otak bagaimana 2 tas itu bisa membawa semua yang saya butuhkan selama seminggu (nggak jangkep hehe) di Jepang.

Ternyata, semuanya bisa diatur. Meski agak mekso hohoho….

Teng! Teng! Teng! Waktunya berangkat….

Again and again  ibu ‘menggupuhi’. Ngikut aja dech. Nyampek di bandara Juanda 2.30 PAGI! Padahal terbangnya jam 5.35 pagi. Antrian check-in sudah dibuka pukul 03.00. Ternyata nunggunya lamaaaaaaaaaaaaaaaaa sekaliiiiiiiiiiiii. Untungnya saya ditemani my super best friend,  teman musafir setia saya ^_^. Walau berdiri satu jam lebih, saya nyantai saja sambil baca buku.

Di belakang saya, ada seorang perempuan dan laki-laki lagi ngobrol pake bahasa mereka Melayu-Inggris campur-campur kayak rujak Cingur ngomongin tentang opini-opini mereka tentang tanah air. Ouou….Di depan saya, sekelompok ibu-ibu dan mbak-mbak pegawai bank, juga tak kalah serunya bercakap-cakap ini itu. Saya lagi tak ada power mengajak sesiapa pun berbicara sebab saya ngantuk. Saya baca-baca pun sedikit memaksa daripada pingsan berdiri, hehe.

Tiba-tiba, salah satu mbak pegawai bank (nampak dari jaket yang dipakai salah satu dari mereka) menyapa saya pake bahasa Melayu tapi aksen Jawanya terlalu ngetarani  (Fyi, kami semua ngantri mau terbang ke Malaysia dan saya cuma transit di sana).

“Awak, nak ke Malaysia ke? Belajar dekat sini?”

 Haaaaaaaaah? Apa nggak salah mbak ini? Hehe….tidak salah lagi, mbake pikir saya orang Malaysia :D.

Saya jawab bla bla bla sambil menahan kaki dan kantuk.

Karena lambatnya proses check-in, saya mesti mengejar subuh. Dan semuanya jadi terlambat. Setelah pamitan, saya terus berjalan cepat menuju pesawat. Terdengar bahwa pesawat yang dimaksud memberitahukan pada penumpang untuk segera boarding. Saya mempercepat langkah. Hosh hosh hosh….saya sungguh-sungguh menggos-menggos.

Bahkan di pesawat koper saya sempat lepas dari tangan dan jatuh menjerit untung besinya tidak patah.

Alhamdulillah, dapat duduk di dekat jendela.

Sesampai di Malaysia, saya baru terasa betapa pun berada di tengah lautan manusia ternyata saya hanya sendiri o_O. Saya tenangkan dan kuatkan diri, “InnAllaha ma Ya Rabbi.” Saya tenggelamkan alam pikiran saya bersama buku tercinta.

Akhirnya, waktu telah tiba. Saya berjalan menuju pesawat yang akan membawa saya ke negara impian masa kecil. Penumpang-penumpang bule dan Jepang berjubel di sekitar pintu. Orang Melayu bisa dihitung alias sedikit.

 Bismillahirrahmanirrahim.

Perjalanan yang panjang. Hampir 8/9 jam saya di pesawat. Ada beberap gangguan terjadi (sempat terpikir hal-hal buruk; pesawat eror dan tenggelam di laut lalu saya mati atau terdampar di pulau asing dan lupa ingatan haha mengerikan sekali bayangan saya itu).

Kalau di lihat di peta, jarak Jawa-Mekkah dengan Jawa-Tokyo, hampir sama tapi tak ‘sama’.

Detik-detik sebelum pendaratan itu, saya sempatkan menulis di bawah lampu tempel pesawat.  Teringat kembali betapa ibu lah orang pertama dan selalu mendukung mimpi-mimpi saya. Bahkan dulu ketika saya masih ingusan, ibu tidak pernah meragukan apa yang saya ingin lakukan dalam hidup saya. Seharusnya ibu juga bisa melihat impian saya ini. Namun, saya belum mampu membawa beliau. Air mata kembali menggenang…. T_T

Sang pilot yang tidak pernah saya kenali mukanya memberitahukan bahwa sebentar lagi pesawat akan tiba di Tokyo. Saya menoleh ke arah jendela. Nampak jelas sekali, sadyap pesawat itu memancarkan lampunya di udara dan terlihat salju berguguran indah menyambut kami yang segera mendarat di Haneda.

Belum Tamat

Additions

Ya itulah cuplikan kisah saya. Lho, kok cuma cuplikan? Lha, iya dong kalau terlalu detail bisa-bisa saya nulis buku, hehe.

Di dunia maya Facebook ini, ada banyak orang-orang saya cintai; guru-guru saya, sahabat-sahabat saya, murid-murid saya, wali murid-wali murid saya dan banyak yang lainnya. Saya di sini tetaplah orang ‘ndeso’ yang tak pernah berhenti bermimpi dan keras kepala. Saya masih perlukan banyak belajar, nasehat dan kasih-sayang. Saya selamanya tidak bisa hidup sendiri. Bahkan ketika saya sudah harus meninggalkan dunia ini, saya masih tetap membutuhkan orang lain. Karena itulah, saya ingin berbagi meski bukan materi.

Saya ingin tegaskan sekali lagi bahwa bagi siapa pun (terutama laki-laki sebab perempuan memiliki aturan khas setelah menikah) ibu adalah nomor satu. Doa ibu sholehah itu manjur. Restu ibu memudahkan jalan anak-anaknya. Tidak ada alasan seorang anak tidak mencintai ibunya. Saya tak habis pikir kalau ada anak yang durhaka pada ibunya. Saya yakin anak itu pasti sudah kehilangan akal sehat dan hati nuraninya sekaligus!

Ketika tak ada lagi orang yang mempercayai kita, ibu lah yang percaya.
Ketika doa-doa kita sepertinya tidak terkabul, doa ibu lah yang dikabulkan.
Ketika semua orang rasanya membenci dan tak mempedulikan kita, ibu dengan tulus iklas mengasihi dan menyayangi kita sepanjang masa.
Ketika kita bersedih dan kehilangan harapan, ibu hadir dan menciptakan tawa di wajah kita.
Dan masih banyak yang lainnya.

Tentang mimpi.
Jangan pernah enggan bermimpi.
Harus punya mimpi!
Bermimpilah.
Tak usah takut dan ragu-ragu apa apalagi pesimis bermimpi besar. Karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Nothing is Impossible.

Bahkan ketika kau sudah merasa menyerah, Allah Yang Maha Kuasa, Pengasih dan Penyayang Akan Menghidupkan Kembali Mimpi itu. Tetaplah setia pada keyakinanmu. La tahzan, innallaha ma ana.

Mewujudkan mimpi seperti membangun sebuah kota and a city is NOT built in a day. Dan banyak hal yang harus dikorbankan untuk itu. Satu hal lagi adalah keberanian dan keseriusan. Tak ada ceritanya seorang pemimpi itu manja, cengeng dan cengengesan. Man Jadda wa Jadda.

Saya pikir setiap mimpi yang diciptakan (diangan-angankan) itu telah terwujud. Tinggal kita mau dan mampu mengusahakan dan mendatanginya atau tidak. Contoh misalnya, kita bermimpi masuk surga dan bertemu Rasulullah SAW (May Peace be Upon Him). Apakah surga itu ada? Apakah Rasulullah SAW itu ada dan sedang menunggu kita? Hayooooooo, apa jawabannya? Ya iya dong (kan orang Indonesia) kalau ya iya lah (style orang Malaysia). Betul, betul, betul.


Pursuit of Childhood Dream Part 3



Setelah sekian lama tidak menginjakkan kaki di Konjen (Konsulat Jenderal) Jepang Surabaya, rasa-rasanya baru kemarin saya datang ke sana dan hari ini saya datang lagi. Dulu, saking tergila-gilanya pengen ke Jepang, saya suka ‘main-main’ ke Konjen. Sama petugas security-nya, saya selalu ditanya dan naturally saya pandai beralasan. With love, you can be smarter than usual hehe…Ada aja idenya. Percaya dech?!

Gedung Konjen sama sekali tidak berubah, bahkan toiletnya pun tetap sama. Penataan ruangan, lantainya, perpustakaan kayaknya semuanya remain the same. Begitu pula, hati saya, mimpi saya…

Waktu itu, sebelum meninggalkan gedung krim abu-abu, saya berjanji akan datang lagi dan saya pasti akan pergi ke Jepang. Tak seorang pun tahu akan janji itu, namun saya yakin seyakin-yakinnya, Dia mendengar saya. 

Pertama kali mengurus visa akhir Desember kemarin, saya benar-benar bahlul. Berkas-berkas yang saya siapkan kurang dan lebih erornya lagi saya tidak mengecek jadwal buka/tutup pengajuan visa T_T. Kaki baru turun dari bus di Gubeng, ehhhh teng!teng!teng! sudah masuk jam makan siang yang artinya loket pengajuan visa sudah ditutup dan itu baru saya sadari ketika saya sedang menikmati homemade lunch bento saya.
Sudah jauh-jauh datang ke Surabaya dengan perut keroncongan, saya tak mau usaha saya sia-sia. Saya tetap pergi ke konjen (padahal sudah tutup).  Betapa memajalnya saya (memajal=memaksa diri). Intuisi saya mengatakan dia mendukung saya. Jadi ya saya pergi saja. 
Sesampai di sana….sepiiiiiiiiii! Ya tentu saja, kan tutup. Ditanyai petugas, “Mau ngapain, mbak?” saya jawab dengan gaya khas mahasiswa sok sibuk, kayak anak yang kemarin baru dapat beasiswa Monbukagakusho, sangat percaya diri :D Alhamdulillah, saya dipersilakan masuk setelah melalui mesin-mesin pendeteksi yang sudah agak tua itu. 
Saya duduk-duduk sambil mata jelalatan ke kanan kiri membaca memo yang tertempel di sana-sini. Beberapa saat kemudian, ada pria (looks fatherly) masuk clingak-clinguk. Sepertinya, saya pernah melihat beliau tapi saya tak begitu ingat kapan dan di mana. 
Nggak mau sok ribet ngurusin memori alias daya ingat, saya tetap duduk dan mempelajari syarat-syarat pengajuan visa yang mulai membuat pening kepala saya. Diam-diam bapak tadi memperhatikan saya dan lalu bertanya-tanya. Terjadilah dialog. 
Ternyata bapak itu sedang mengurusi visa-visa orang yang mau pergi ke Jepang. Dengan senang hati, beliau mengajari saya yang buta prosedur ini. Saya begitu bersyukur. Meski saya tidak dilayani oleh pegawai Konjen, informasi dari bapak yang sudah berpengalaman itu sangat penting bagi saya. Untung saya keras kepala tetap datang walau sudah tutup. 
Tak semuanya berita yang dibagikan bapak tadi menyenangkan saya. Kebanyakannya malah membuat saya menelan ludah, namun sekuat mungkin saya tak ingin menunjukkan kekhawatiran saya. Saya tetap tersenyum, mendengar sepenuh hati dan menatap dengan mata berbinar-binar. 
Berita yang paling tidak bisa membuat saya senyum adalah Konjen akan tutup menjelang dan seminggu selama Tahun Baru. Seakan-akan satu timba air jatuh di atas kepala saya. Byooooooooooor! Bagaimana ini? Saya tak ada banyak waktu untuk menunggu terlalu lama. Resikonya adalah saya TIDAK JADI ke Jepang. Uh, mengerikan sekali. 
Saya pun pulang ke rumah. Ibu tanya. Saya jawab apa adanya. Tanpa diduga, ibu malah menyemangati saya. Hiks, hiks, hiks….arigatou, okaasan T_T
Liburan Konjen berakhir….
Dengan semangat menggebu-nggebu saya persiapkan semuanya dengan sempurna (saya pikir sudah sempurna). Pertarungan saya bukan hanya dengan berkas-berkas yang mbulet melainkan juga dengan waktu – deadline
Dini hari keberangkatan, sekitar jam 1 pagi, Ibu membangunkan saya. Tapi saya tidak mau bangun. Saya jawab sambil mata terpejam. Lalu beliau mengelus-ngelus rambut saya dan memberitahu bahwa nenek satu-satunya yang saya miliki dan baru seminggu kemarin kami sekeluarga menjenguknya telah meninggal dunia T_T.
Saya masih saja tidak mau bangun. Dan saya tidak mau membuka mata. Hati saya hancur dan saya bingung. Akan kah saya tetap pergi ke Konjen hari itu? Separuh kekuatan saya telah hilang. 
Ibu bertanya, “Harus hari ini kah ke Surabaya? Tidak bisakah ditunda hari lain?” Saya jawab dengan lemas, “Saya tidak tahu….jika tidak hari ini , tenggang waktu yang diberikan semakin sedikit. Saya tidak tahu apakah setelah itu saya masih mampu berlari atau tidak*” (* ucapan yang dibuat kiasan untuk tulisan ini) “Ya sudah lah. Tidak apa-apa. Pergilah, Nduk.”
Saya sungguh merasakan sakit sekali di sini, di hati. Keras kepala saya kali ini sungguh keterlaluan. Saya menyadari itu. 
Sebelum berangkat ke stasiun, saya bilang pada ibu, “Ibu, tunggu ya saya akan pulang sebelum siang.” Ibu merespon penuh percaya, “Iya, Nduk. Hati-hati ya. Semoga visanya berhasil.”
Pagi hari itu….suasana stasiun Jombang nampak sepi. Saya duduk di kursi panjang di depan jalur rel kereta api yang akan saya naiki. Seorang diri saya menatap kosong batu-batu kecil di depan bola mata saya. Air mata menggenang….Maafkan, saya nenek. Maafkan saya…. T_T
Saya harus tetap kuat. Yang hidup mesti kudu bersemangat, berjuang. 
Loket pengajuan visa dipenuhi ragam manusia dari berbagai ras bangsa. Di pojok ruangan bapak yang saya jumpai beberapa minggu yang lalu tengah duduk menunggu. 
Saya sapa beliau. Lalu kami pun bercakap-cakap. Beliau membantu mengecek berkas-berkas yang saya bawa. Hari itu, saya lupa bawa alat tulis. Semuanya bapak itulah yang meminjamkan pada saya. Bahkan beliau, merapikan dan menyusun dokumen-dokumen saya. Betapa malunya. 
Nomor antrian saya dipanggil. Dengan cukup tenang, saya melangkahkan kaki dan berjalan menuju ke loket. Sungguh di luar dugaan, saya diinterview banyak sekali. Dokumen di luar persyaratan pun ditanya dan tidak saya bawa. Ujung-ujungnya petugasnya meminta maaf belum bisa menerima pengajuan visa saya hari itu. Uh….saya seperti daun yang gugur dari pohonnya dan tertepa angin kencang dan terbang jauh lalu jatuh ke sungai yang dibawahnya airnya mengalir deras. Daun itu pun basah dan tenggelam.
Saya terima kenyataan dengan lapang dada dan hati yang bersedih. Saya lalu segera keluar Konjen dan mengejar kereta balik ke Jombang sebab saya sudah janji pulang sebelum siang. 
Dalam perjalanan, ibu menelepon apakah pengajuan visa saya berhasil atau tidak. Setelah itu, ibu tak lagi bertanya apa-apa. 
Masa yang tersisa kurang dari 2 minggu dan saya masih belum ada visa dan juga lain-lainnya. Semangat saya sempat meredup. Saya adalah daun yang telah jatuh dan kebasahan. Sepertinya tak ada harapan.
Ibu, lagi-lagi, membakar semangat saya. “Ayo, jangan malas. Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Mimpimu sedang menunggumu di sana. Kamu harus pergi.”
Haaaaaaaah?
He’eh! Terima kasih, ibu. 
Dua hari setelah itu, saya datang lagi ke Konjen. Satpamnya sampai kenal dengan muka pasaran saya. Katanya, “Ngurusi visa lagi, mbak?”. Kami seakan-akan kawan lama, ngobrol di depan pintu security haha.
Waktu masuk loket….lho, kok sepi. Hanya saya seorang. Lain daripada hari-hari sebelumnya, berkas-berkas saya dilihat-lihat dan tanpa ditanya APA PUN, saya disodori kartu pengambilan paspor. Artinya jika visa saya di-approve, stickernya akan tertempel di paspor, tapi apabila ditolak lain ceritanya. Kabarnya, kalau ditolak nama saya untuk beberapa masa tertentu akan di-blacklist tidak bisa masuk ke Negara Jepang. Sungguh menyeramkan!
Sebelum meninggalkan konjen, saya sempat curhat sama bapak satpam. “Pak, saya tadi dibagi kartu macam ini. Visa saya pasti di-approve kan pak, ya?” Saya mungkin nampak polos dan bahlul sekali. Namanya juga first-timer ya mohon dimaklumi. Dan saya sudah kebal kalau soal tanya-menanya. Bapak satpam mencoba menghibur, “Sudah dapat kartunya ya. Ya sudah ditunggu saja. Nanti ke sini lagi ya.” Jawabannya menggantung @_@. 
Waktu tinggal seminggu lagi. 
Sehari sebelum saya ke Konjen lagi, saya sempatkan menghadiri pengajian ustadz idola saya, ustadz Abdullah Al-Hadrami, di Masjid An-Nur Jagalan. Bersama mbak Lilik, kami berdua duduk di shaf nomor dua. Topiknya kala itu ngomongin tentang sabar. Apa pun yang Allah tentukan untuk para hamba-Nya adalah yang terbaik. Itu pasti. Beliau menceritakan kisah seorang Raja dan kedua penasihatnya. Ada yang sudah pernah dengar kisahnya. Mesti tahu tuh! Bagus sekali. 
Dari Malang-Surabaya, saya naik KA Penataran Express. Di sepanjang perjalanan, saya putar lagunya Zain Bikha berkali-kali tetap saja nggak bosan. Allah knows. Allah knows. Mbak Lilik sekali lagi mengingatkan tentang ceramah ustadz Abdullah. No matter what might happen next, Allah knows the best.