Siapa kah Dia?
Walaupun beliau sering datang hampir di akhir waktu,
kehadirannya selalu saya nantikan. Indah suaranya senantiasa saya rindukan.
Begitu beliau membuka pintu geser, mata saya melirik (spontan sebab saya
biasanya duduk bersila di sekitar pintu) memastikan siapa yang datang. Hati
berbunga, senyum bibir pun merekah. Sosoknya yang khas, tak menghendaki saya
harus memutar badan serta kepala dan menatapnya. Gaya berjalannya yang tegap,
santun tapi santai, cukup meyakinkan saya bahwa itulah beliau - He's coming!!!
Hati gembira tak terkira, berdebar-debar menantikan
terbukanya suara....
Bukan setiap Ahad beliau datang. Kehadirannya sungguh
tak terduga, tapi selalu menyenangkan. Dan meskipun saya tidak bisa memahami
bahasa beliau (bahasa Arab), saya tidak pernah tidak menikmati dan menyelami
setiap kalimat yang beliau sampaikan (mendengar beliau berbicara, rasa-rasanya
bahasa Arab menjadi mudah hehe). Kadang saya tersenyum sendiri ketika saya
mampu memahami potongan cerita lucu beliau tanpa bantuan penerjemah (yang
mengalihbahasakan ceramah - kalimat per kalimat- setiap beliau selesai
bercakap). Kadang teman akrab saya ngejek,
“Emang kamu paham, Chan?” Hehe it’s
so-called ‘the Power of Love. Bahasa Arab itu ekspresif (dalam
penyampaiannya) sesuai dengan karakter saya. Dari situlah saya bisa memahami
makna bahasa beliau. Ditambah lagi, saya suka mendengarnya (orang yang
menyampaikan dan apa yang disampaikan) jadi lebih mudah hihihi. Belajar menjadi
lebih menyenangkan dan cepat paham apabila dilandasi rasa suka :D
Minggu kemarin beiau tak datang dan minggu ini tak ada
majlis. Hidup terasa sunyi dan hati menjadi kesepian lebaaaaaaaaay. Saya mencoba mengingat kembali pertemuan-pertemuan
di minggu-minggu sebelumnya (tak seperti di zaman kampus dulu, biasanya ceramah
kajian Islam ustadz Abdullah saya catat di sebuah notebook khusus. Di sini,
hanya mendengar dan entah sampai bila masa ingatan itu akan bertahan).
Pada suatu Ahad pagi di bulan Zulhijjah 1434H, di
depan jamaah ibu-ibu dan bapak-bapak serta anak-anak, di sebuah ruang tamu yang
bisa menampung 30-40 orang, beliau dengan suara 'kebapakan'nya menyampaikan dua
buah cerita (non-fiksi/kisah nyata). Yang pertama adalah tentang kegigihan
seorang anak yang berjuang memenuhi perintah ibunya untuk menimba ilmu di
negeri yang jauh dari kampung halamannya. Alhamdulillah, saya bisa memahami
keseluruhan cerita. Namun apabila saya diminta menceritakan kembali kisah itu,
saya harus merujuk referensi terlebih dahulu sebab ada beberapa perkataan yang
menggunakan bahasa Arab (tidak diterjemahkan secara khusus - original) yang
saya khuatirkan saya akan melakukan kesalahan besar terhadapnya jika saya hanya
menuliskannya dengan sekedarnya.
Karena itu di sini saya hendak berbagi kisah kedua
yang tak kalah berkesannya di hati saya.
Mari kita mulai sekarang.
Di sebuah negeri hiduplah seorang anak laki-laki (usia
menginjak remaja 10-12 tahun) dan ibunya yang sholehah. Pada suatu hari ibunya
meminta sang anak agar merantau di negeri lain yang jauh untuk menuntut ilmu.
Perintah itu mengharuskan sang anak melakukan perjalanan yang sangat melelahkan
dan memakan waktu yang lama serta menguras perasaan sebab dia harus rela
berpisah dengan orang yang paling dicintainya. Bagaimanapun, sang anak pun
pergi memenuhi amanah ibunya.
Sesampai di kediaman gurunya, sang anak pun disambut
dengan baik. Hari demi hari, bulan demi bulan, sang anak mampu menunjukkan
peningkatan ilmunya di mata sang guru. Tak segan-segan, sang guru memujinya di
depan putrinya sendiri.
Sang putri pun menjadi penasaran dengan murid
laki-laki itu. Dimintanya sang ayah (sang guru) untuk mengundang sang murid
supaya datang ke rumah. Tanpa menolak, sang murid pun memenuhi undangan sang
guru.
Dengan kehadiran sang murid di rumah, sang putri ingin
membuktikan apakah pujian-pujian sang ayah untuk sang murid benar adanya.
Akhirnya, satu-per satu kenyataan diri sang murid pun 'terbongkar' -
terpaparkan jelas di mata dan telinga sang putri.
Seperti biasa, sang guru pasti menjamu setiap tamu
yang datang ke rumahnya, tidak terkecuali sang murid. Begitu melihat banyaknya
makanan dan keanekaragamannya, sang murid pun tak kuasa menahan nafsunya dan
makan sesuka hatinya. Sang putri melihatnya dan tidak percaya bahwa sang murid
makannya buuuuanyak sekali!
Ketika malam tiba, tak terdengar aktivitas sang murid
mengambil wudhu dan shalat malam (tahajud). Sang putri semakin kehilangan
kepercayaan terhadap sang murid. Biarpun begitu, ia tetap membiarkannya dan tak
meng-komplainnya pada sang ayah.
Keesokan paginya, ketika adzan subuh berkumandang,
sang putri mengetuk kamar sang murid untuk membangunkannya. Diketuklah pintu
sehingga sang murid terbangun dan langsung melaksanakan ibadah shalat subuhnya
tanpa berwudhu.
Sang putri tak kuasa menahan kekecewaan pada sang
murid lalu menghampiri ayahnya dan menceritakan (melaporkan/complain)
segala hal yang ia nampak langsung dari perbuatan sang murid. Pertama, sang
murid mempunyai nafsu makan yang sangat besar padahal sepatutnya seorang
penuntut ilmu itu makannya sedikit saja dan tidak sampai kenyang. Kedua, sang
murid tidak menjalankan anjuran shalat malam padahal seharusnya seorang murid
yang alim dan sholeh pasti melakukannya. Dan yang terakhir, ketiga, murid tidur
hingga adzan subuh berkumandang dan melaksanakan shalat tanpa mengambil air
wudhu.
Mendengar semua laporan sang putri tercintanya, sang
guru tidak sanggup percaya sehinggalah dia memanggil sang murid untuk
mengklarifikasi dan mencari (mendapat) kebenaran.
Didatangkanlah sang murid untuk menghadap sang guru.
Dibeberkan semua perkara yang sang murid telah perbuat berdasarkan laporan sang
putri.
Sang guru pun bertanya, "Apakah benar kamu telah
melakukan yang sedemikian itu?"
Sang murid menjawab. "Iya, benar. Saya telah
melakukan yang sedemikian. "
Sang guru tidak langsung merasa kecewa dan menghakimi
sang murid. Akan tetapi, sang guru bertanya lagi, "Mengapa kamu
melakukannya? Bisakah kamu menjelaskannya?"
Sang murid dengan jujur dan tulus menceritakan apa
yang terjadi sesungguhnya pada hari itu.
"Berita itu benar bahwa saya makan banyak hingga
kenyang. Sungguh, semenjak ibu saya menyuruh saya berhijrah hingga saya dijamu
dengan makanan yang lezat di rumah guru, selama itu saya senantiasa menahan
lapar, hanya makan dan minum sedikit sekali. Dalam perjalanan yang panjang itu,
saya tidak tahu apakah yang bisa dimakan dan diminum itu halal atau tidak. Karena
itu saya memutuskan untuk menahan lapar hingga saya makan banyak sampai kenyang
di rumah guru. Saya yakin semua jamuan itu adalah halal sehingga saya makan
dengan tenang dan kenyang. Saat itulah saya benar-benar merasakan makan dan
minum.
Kemudian perkara apakah saya tidak melaksanakan shalat
malam dan mengambil wudhu untuk shalat subuh, itu pun benar dan saya juga
memiliki alasan mengapa demikian. Pada malam itu, saya sebenarnya tidak tidur
hingga datang waktu subuh. Dan selama itu saya menjaga wudhu saya sehingga saya
tak perlukan wudhu untuk shalat subuh."
Sang guru bertanya lagi, "Apa yang kamu lakukan
sehingga kamu tidak tidur?"
Sang murid menjabarkan dengan panjang lebar* apa yang
dia kerjakan semalam suntuk hingga subuh malam itu. Sang murid sedang mengkaji
sebuah hadits yang dia menemukan ada satu/dua kata* dari potongan hadits itu
yang mengandungi ilmu yang teramat luar biasa. Sang murid merenungi dan mencari
jawaban atas satu/dua kata tersebut semalam suntuk hingga subuh.
Sang murid pun menjelaskan.
"Saya tahu bahwa shalat malam adalah ibadah
sunnah yang sangat dianjurkan (diutamakan). Tapi, itu adalah sunnah sedangkan
mengkaji ilmu adalah wajib. Sehingga saya dahulukan yang wajib dari pada yang sunnah.
Karenanya, saya tidak melaksanakan ibadah sunnah shalat tahajud malam itu. Dan
sebagai gantinya, saya telah menemukan jawaban atas satu/dua kata dari potongan
hadits tersebut."
Itulah kisah kedua yang diceritakan oleh beliau dengan
penuh hikmah. Beliau, Sheikh Muthi'i, seorang guru dari Suriah, mengakhiri
kisah tadi dengan sebuah pertanyaan untuk kami semua, pendengarnya, para
jama'ah.
"Apakah anda tahu siapakah sebenarnya sang murid
itu?"
Para jama'ah terdiam, tertunduk, entah malu atau
ngantuk.
Sheikh Muthi'i lalu menjawab sendiri pertanyaan itu
(sebab tak ada yang mampu menjawab).
"Dialah Imam Syafi'i.
Kadang kala kita ditanya, ikut madzab siapa? madzab
Syafi'i. Tapi, sadarkah kita dengan jawaban kita itu? Apakah kita benar-benar
mengenal siapa dia Imam Syafi'i dan apakah kita juga mengikuti bagaimana beliau
menuntut dan mengkaji ilmu?
............................................................................................................................................(terdiam
cukup lama) Itu sebagai renungan anda semua yang hadir di sini. Dan anda
sendiri lah yang tahu jawabannya."
Ceramah pagi itu berlangsung lebih lama daripada
biasanya. Seperti biasa, majlis dzikir dan ilmu diakhiri dengan shalat dhuha.
Kami semua pun berangkat umrah berjama'ah :D
Wallahu'alam.
Semoga kita semua senantiasa ditunjukkan
jalan yang diridhoi-Nya. Aamiiin.
Note
*Saya tak bisa menjelaskannya secara terperinci dan
kurang begitu yakin (ragu).

No comments:
Post a Comment