Jangan siksa aku dengan melupakanmu
Hubungilah aku walau dalam mimpi
Itulah petikan
syair favorit saya, senantiasa menggetarkan jiwa dan akal yang telah menahan
rindu entah sampai bila masa. Terdengar saja dua baris itu dinyanyikan, waktu
terasa berhenti, membebaskan hati dan pikiran memanggil-manggilnya.
Betapa pun perasaan
itu tak terbendung lagi dan langkanya kesempatan berjumpa dengannya walau dalam
mimpi, doa dan harapan ini tak pernah terputus. Dan meskipun nanti hanya mampu
menatapmu tanpa engkau menyadari keberadaan ini, itu pun tak akan apa-apa.
Asalkan akhirnya rindu terobati, karena telah melihatmu dengan begitu sempurna.
Semoga Allah mengabulkan hajat suci ini. Amiin.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Sebenarnya apa
yang sedang saya bicarakan. Dimabuk cintakah saya? Ya, saya rasa itu tidak
salah. Semakin saya mengenalnya, semakin besar pula rasa cinta ini. Bahkan saya
berani tidak patuh pada kedua orang yang paling penting dan berharga dalam
hidup saya apabila mereka tidak menghendaki saya mengikuti dia yang saya cintai
itu*.
*Saya akan
berbagi cerita tentang ini di lain kesempatan, In Shaa Allah.
Cinta itu bisa
datang ketika melihat seseorang yang kita pikir lebih dari diri
kita muncul dan membuat hidup kita berubah dan menjadi lebih indah serta
bermakna.
Saat melihat dia
yang cantik dan tampan (sedangkan menurut kita, kita ini biasa-biasa saja)
tiba-tiba rasa cinta itu muncul. Setelah itu, mungkin kita terpikir bahwa kita
telah jatuh cinta.
Saat mendengar
dia yang begitu fasih penuh pesona mengkomunikasikan ide-idenya di depan orang
banyak (sedangkan menurut kita, kita ini biasa-biasa saja) tiba-tiba rasa cinta
itu muncul. Setelah itu, mungkin kita terpikir bahwa kita telah jatuh cinta.
Saat dia yang
tak pernah bosan menarik hati kita (sedangkan kita ini biasa-biasa saja)
seiring dengan waktu, perlahan-lahan namun pasti, akhirnya rasa cinta itu pun
muncul juga. Setelah itu, mungkin kita terpikir bahwa kita telah jatuh cinta.
Dan masih banyak
jalan cerita cinta yang lainnya, yang sebetulnya apa pun itu pada hakikatnya
sama. Salah satu hal yang bisa dijadikan persamaannya ialah dengan cara
bagaimana rasa cinta itu muncul. Sebagian besar bermula dari alat indera kita
yang ternyata berfungsi lebih dari yang dimaksudkan. Mereka adalah mata dan
telinga kita. Dari dua alat indera kita ini, boleh jadi kita telah dibuat jatuh
cinta berkali-kali. Ngaku, nggak? Nggak ngaku juga nggak pa-pa :D.
Jika
kenyataannya demikian, lalu mungkinkah bahwa cinta itu bisa muncul dan tumbuh
tanpa fungsi kedua alat indera itu. Dalam arti di sini ialah kita tidak melihat
wajahnya dan kita tidak pula mendengar suaranya. Bahkan membayangkan dan
melukiskannya pun tak seorang manusia mampu dan boleh melakukannya. Kita hanya
disuguhkan oleh cerita-cerita, berita-berita, serta bukti-bukti sejarah yang
telah ia tinggalkan. Malahan rasa cinta kita itu jauh lebih besar daripada
cinta kita pada manusia yang jelas-jelas nyata di depan kita saat ini. Benarkah
cinta seperti itu ada?
Ada atau tidak
ada gampang sekali jawabannya. Tengoklah diri kita sendiri dan saudara-saudara
kita di luar sana.
Ketika kita
melihat mereka yang minum dengan tidak berdiri (dan walau tak ada kursi
sekalipun, mereka akan tetap duduk dengan menggunakan salah satu kaki sebagai
penyangga), tahukah kita kenapa mereka melakukannya sedemikian rupa?
Ketika kita
melihat mereka yang memakai celana yang tidak menutup mata kaki dan menumbuhkan
janggut yang tak biasa orang lain lakukan, tahukah kita kenapa mereka melakukannya?
Ketika kita
melihat mereka yang memakai hijab sedemikian rupa hingga wajah mereka pun
ditutup rapat, tahukah kita kenapa mereka melakukannya?
Ketika kita
melihat mereka yang memberi padahal mereka sendiri kekurangan dan juga
membutuhkan, tahukah kita kenapa mereka melakukannya?
Dan masih banyak
lainnya. Dan semakin banyak hal-hal spesial yang mereka lakukan, semakin banyak
pula yang menkritik dengan berbagai macam serangan ide dan pemikiran, yang
sebenarnya sama sekali tidak berdasar.
Sungguh cinta
pada manusia biasa tidak akan sama apalagi lebih dari itu. Lalu bagaimana
dengan diri kita sendiri? Cinta yang manakah yang lebih besar?
Benar atau tidak
menurut anda, serumit apa pun cinta yang kita alami, dia tidak bisa datang
begitu saja, dia sesungguhnya hadir karena alasan. Dan tak ada sebuah kisah
yang menceritakan bahwa cinta itu bisa ditipu. Dan tak ada sebuah kisah yang
menceritakan bahwa cinta itu cukup di mulut saja, dalam uraian kata-kata indah mempesona jiwa yang mendengarnya.
Cinta itu ibarat
sebuah biji yang bila ia ditanam dengan baik dan benar maka dia akan tumbuh
menjadi akar, batang, daun, bunga dan akhirnya menghasilkan buah yang karena
itulah biji itu diciptakan. Nah, dari perumpamaan tersebut sangat jelas bahwa
cinta itu tak kan ada artinya apabila ianya tidak mewujudkan apa-apa yang
nyata.
Sebenar-benarnya
cinta (biji) itu pastilah akan menumbuhkan keyakinan yang kuat (akar dan
batang), yang selanjutnya, atas konsekuensi dari keyakinan tersebut, mewujudkan
tindakan-tindakan nyata (daun, bunga dan buah).
Kehinaanku bila jauh darimu
Kehormatanku bila aku bersamamu
Orang pada zaman
di mana Sang Kekasih masih hidup sehingga mereka bisa mendengar dan melihatnya,
akan lebih mudah tertanam cinta suci itu dan membuahkannya. Sedangkan kita yang
hidup di masa sekarang, ditantang oleh sebuah kenyataan hidup bahwa Sang
Kekasih tak lagi ada bersama kita. Karenanya, apakah kita sanggup menggapai
cinta, keyakinan dan pengorbanan yang sama dengan mereka sedangkan kita sendiri
tak pernah mendengar dan melihatnya. Dan mampu kah kita menghadirkan cinta
tanpa kita mengenalnya, orang yang katanya kita cintai itu?
Mudah bagi
anak-anak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar berikut ini.
Guru : "Siapakah yang harus kita
cintai setelah Allah?
Anak-anak : "Rasulullah SAW."
Guru : "Siapa yang cinta
Rasulullah?"
Anak-anak : "Saya, Saya, Saya."
Ketika anak-anak
itu telah tumbuh dewasa dengan berbagai macam wawasan dan pengetahuan yang
berbeda-beda, anak-anak yang dulunya menjawab sama dan serentak pada kala itu,
sekarang beberapa dari mereka ada yang diam, ada yang mungkin malu atau
ragu-ragu. Dan beberapa yang lain lagi ada yang malah tambah dahsyat jawabannya
dan lain sebagainya.
Pada diri sendiri
saya bertanya, di antara mereka, anak-anak itu, siapakah saya ini?
Catatan:
Tulisan ini
terinspirasi atau wujud dukungan saya pada sebuah karya besar Muhammad Husain
Haekal yang berjudul Hayatu Muhammad atau Sejarah Hidup Muhammad
dalam bahasa Indonesia, sekaligus bentuk syukur saya karena akhirnya berhasil
mengkhatamkan buku yang sebenarnya telah diringkas menjadi satu jilid tersebut.
Sejak awal saya memang kurang tertarik dengan buku tipis/mini/kecil yang
menceritakan sejarah hidup Rasulullah sebab saya tahu saya tidak akan pernah
puas dengan penjelasannya. Sedangkan dunia di luar sana, banyak orang yang
telah melukiskan sejarahnya dengan seenaknya dan cenderung tidak mengagungkannya
dalam sebuah buku besar, dengan penjelasan dan argumen yang tidak singkat.
Karenanya, Muhammad Husain Haekal menghadirkan buku itu sebagai serangan balik
atas apa yang telah diperbuat pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab
tersebut. Jadi, jangan bingung saat membaca karya bukunya sebab anda akan
sering dihadapkan berbagai macam isu dan propaganda yang saling bertentangan
yang kemudian anda akan diajak merenungi kesimpulan atau penjelasan yang benar
menurut Muhammad Husain Haekal.
Buku yang telah
saya baca tersebut adalah buku cetakan lam tahun 1989. Tentu bahasa yang
dipakai sangatlah kental dengan perkembangan bahasa Indonesia pada masa itu.
Saya sarankan jika anda masih baru akan mau membaca buku itu, lebih baik pinjam
atau beli versi/cetakannya yang terbaru dengan EYD/Ejaan Yang Disempurnakan.
Dan, jangan loncat-loncat saat membacanya. Membaca atau mempelajari
sejarah tidak boleh sepotong-potong, harus totalitas. Dan satu hal yang tak
kalah penting, tanyakan pada diri anda, mengapa anda ingin membaca atau
mengetahui sejarah hidup Muhammad? Apabila ada tidak benar-benar tulus ingin
membacanya, sebaiknya anda jangan membacanya dulu. Tunggu sampai anda
benar-benar siap dan ingin sekali membacanya, bukan karena orang lain, tapi
karena diri anda sendiri.

